12

8.3K 1.2K 55
                                    

Jenaka telah sampai di rumah. Wedana tengah duduk dengan secangkir kopi di kursi depan rumah. Seorang pria duduk di lantai dengan membungkuk. Jenaka seperti melihat seorang raja kecil yang tengah disembah oleh pengikutnya.

"Sudah pulang?" tanya Wedana.

Jenaka mengangguk.

"Raden Panji sedang bertemu seseorang yang penting. Saya disarankan untuk pulang lebih awal."

Wedana menatap Jenaka dengan lekat kemudian mengangguk dan kembali berbicara dengan pria di depannya. Jenaka pun masuk kembali ke dalam kamar.

Raden Ajeng sedang tertidur dengan lelap. Ia mengingat kejadian di pesta Raden Panji tadi dan kembali kesal. Jika saja ... jika saja sejak awal Jati lah yang mengembalikan sapu tangan itu mungkin Jenaka masih sedang berbicara dengan Jati saat ini.

Gadis itu mengunci pintu kamarnya kemudian naik ke atas ranjang dan ikut tidur di samping Raden Ajeng.

"Jenaka?" panggil Raden Ajeng dengan lemah.

"Hm?"

"Saya lega kamu pulang dengan selamat. Tidurlah."

Jenaka menatap wajah Raden Ajeng yang tengah tertidur puas. Wajah cantik perempuan itu sangat luar biasa. Jenaka menatapnya dengan kagum. Bagaimana bisa mereka memiliki wajah yang sama tapi juga tidak sama? Perasaan Jenaka melihat wajah Raden Ajeng berbeda ketika ia melihat wajahnya sendiri di pantulan cermin.

Raden Ajeng tersenyum di tidurnya membuat Jenaka ikut tersenyum. Kedua perempuan itu berpegangan tangan dan masing-masing terjun ke dalam dunia mimpi mereka masing-masing.

Jenaka tidak boleh membiarkan Raden Ajeng menikahi pria itu. Raden Ajeng harus menikah dengan Jati Aryadinigrat. Jenaka sangat yakin bahwa pemuda itu lah yang merupakan kakek buyutnya. Neneknya jarang menceritakan tentang kakek buyutnya. Nenek buyutnya juga lama tidak ingat apa pun sehingga tak banyak yang nenek buyutnya ceritakan.

Tapi nama Jati Aryadiningrat sendiri sudah terpatri di pohon silsilah keluarga Jenaka sebagai kakek buyutnya.

Keesokan harinya kondisi tubuh Raden Ajeng sudah membaik. Demamnya sudah tidak setinggi kemarin. Namun sesekali masih terbatuk. Untuk berjaga-jaga Jenaka tetap menyarankan Raden Ajeng untuk memanggil dokter.

"Baiklah, saya akan meminta ayah untuk memanggilkan dokter."

Jenaka mengangguk dan duduk di ranjang sambil membaca bukunya. Ia menunggu Raden Ajeng untuk membawakan sarapan untuknya sekaligus nanti. Namun saat Jenaka tengah asik membaca bukunya tiba-tiba Raden Ajeng kembali masuk ke kamar dengan panik.

"Jenaka! Bersembunyi cepat!"

"Eh? Kenapa?"

"Ada tamu mengunjungi saya dari pesta."

"Siapa?" tanya Jenaka yang ikut bangun.

"Kamu tidak kenal. Kamu sembunyi saja. Dia teman dari Raden Panji."

"Oke-oke, saya masuk ke lemari saja."

Raden Ajeng mendorong tubuh Jenaka untuk masuk ke dalam sisi lemari berdiri yang kosong. Setelah memastikan Jenaka bersembunyi dengan benar, Raden Ajeng berlari menuju ranjang berpura-pura batuk ketika pelayan meminta izin untuk membawa tamunya masuk.

"Ah, Tuan Jaksa!" sapa Raden Ajeng dengan senyum lebar.

Pria itu mengernyit sejenak dan melihat kondisi Raden Ajeng dengan seksama.

"Selamat pagi, Tuan Putri. Maaf saya tiba tanpa mengatakan apa pun. Saya tiba untuk melihat kondisi Anda karena sepertinya tadi malam Anda terlihat .... Kurang sehat."

Surat Untuk Jenaka (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang