15

8K 1.2K 78
                                    


Song of the day: Denting by Melly Goeslaw

"Maaf kita harus berjalan sedikit lebih jauh karena tidak ingin membuat Wedana curiga ketika melihat kereta yang menunggu."

"Tidak masalah," jawab Jenaka santai.

Mereka berdua mengitari kediaman Wedana kemudian kembali ke jalan utama yang sangat sepi. Kediaman Wedana dikelilingi oleh sawah-sawah dan ladang sehingga tak ada satu pun orang yang lewat di sana. Jarak antara lampu jalanan juga sangat jauh sehingga membuat suasana malam itu remang.

Seperti yang dikatakan oleh Pram sebelumnya, malam itu memang sangat dingin tapi Jenaka tidak ingin mengakuinya. Apalagi di daerah terbuka dimana angin bisa berhembus dengan bebas, tubuh Jenaka seperti beku. Jenaka memeluk tasnya untuk mendapatkan kehangatan lebih, Pram melihat perubahan postur Jenaka yang mungkin mulai merasa kedinginan.

Sebentar lagi ... Pram menahan diri untuk tidak mengambil tindakan terlebih dahulu. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah arloji berantai dan jarum panjang sudah mendekati angka dua belas.

Tiga ... dua .. satu... zap!

"Eh!?" Jenaka terhenti di tempatnya. Tangannya langsung mencengkram lengan Pram yang ikut berhenti di sampingnya.

"Ada apa, Nona?" tanya Pram yang terdengar bingung.

Suasana malam semakin gelap ketika tiba-tiba lampu jalanan mati. Jenaka mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya kepada sekeliling.

"Kenapa lampunya tiba-tiba mati?" tanya Jenaka.

Tanpa sadar gadis itu melangkah ke samping sedikit untuk memastikan Pram benar-benar masih berada di sampingnya. Ia sedikit trauma karena dulu waktu dirinya dan Jetis masuk wahana rumah hantu, Jetis yang ketakutan berlari cepat meninggalkan adiknya yang menangis seorang diri sambil berjalan melewati wahana rumah hantu seorang diri. Alhasil Jetis kena marah oleh kedua orang tuanya akibat meninggalkan Jenaka seorang diri.

Jenaka tidak takut akan gelap atau hantu. Ia hanya takut ketika ditinggal lari seorang diri.

Pram pun ikut mendekatkan dirinya kemudian kembali menghampirkan jas miliknya di kedua pundak Jenaka.

"Lampu hanya dinyalakan pada pukul enam sore sampai sepuluh malam saja. Sekarang sudah jam sepuluh jadi lampu pasti akan mati. Tidak apa-apa. sampai di ujung jalan, kereta delman sudah menunggu."

"O-okey."

Pram berdeham untuk menetralkan rasa gelinya. Sungguh ia tengah menahan diri setengah mati untuk tidak tertawa melihat Jenaka yang selalu memberikannya tatapan tajam ketakutan seperti seorang anak kucing. Pram membiarkan Jenaka yang mencengkam lengannya.

Yang sebelumnya mereka berjalan dengan jarak kini sisi tubuh keduanya saling bersentuhan untuk meyakinkan Jenaka bahwa Pram masih ada di sana. Jenaka juga tidak protes akan jas milik Pram yang tersampir di atas pundaknya.

Seperti yang dikatakan Pram, sebuah kereta delman telah menanti. Jenaka naik sendiri tanpa bantuan kemudian disusul oleh Pram. Jenaka merapatkan jas milik Pram karena benda itu hangat. Tubuhnya yang dingin lebih membutuhkan kehangatan kain itu ketimbang petuah Jetis yang tidak membantu di saat seperti ini.

Mereka tiba di sebuah rumah sederhana perpaduan nuansa jawa dan eropa. Dining-dindingnya tinggi berwarna putih. Atapnya terbuat dari genteng merah. Taman dipenuhi dengan berbagai warna bunga yang indah dan tumbuh segar. Bunga-bunga bermekaran.

"Katanya lampu akan dimatikan setiap pukul sepuluh? Kenapa rumah milik Anda masih menyala?'

Pram mengedikkan bahunya. "Karena ... saya meminta untuk dipasang listrik sesuka hati?" jawab Pram membuat Jenaka mengernyit bingung tak mengerti.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang