32

6.4K 1K 53
                                    

Iskandar tiba lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Ketiganya berbicara terkait rencana mereka. Iskandar yang telah memantau area melaporkan bahwa tak ada orang yang berkunjung sejak siang tadi ke kediaman pengrajin berlian.

Rencana mereka akan segera dimulai. Pram mengajak Jenaka untuk meninggalkan kedai dan berjalan bergandengan menuju rumah pengrajin berlian. Kedua lengan mereka saling bertaut. Jenaka sengaja lebih mendekatkan dirinya para Pram. Malam itu cukup dingin dan Jenaka mengenakan sebuah gaun dengan bahu yang terbuka. Angin dengan begitu mudahnya menerpa kulitnya.

Pram mengusap jari-jari Jenaka yang memeluk lengannya erat. Ia tahu Jenaka kedinginan. Pria itu memiliki niatan untuk memasangkan jasnya tapi mereka sudah tiba di kediaman pengrajin berlian itu.

"Apakah ini tempatnya?" tanya Jenaka melihat rumah kayu yang sangat indah.

"Ini memang rumahnya."

Jenaka dan Pram memiliki firasat yang aneh tentang tempat ini. Terlalu gelap. Karena rumah ini terletak di antara kediaman para orang-orang Belanda juga beberapa priyayi seharusnya rumah ini mendapatkan jatah listrik hingga pukul sepuluh malam. Namun lampu rumah pun sepertinya belum dinyalakan.

"Apakah tidak ada orang?"

"Mungkin, saja. Kita lihat dulu lebih dekat," ajak Pram.

Keduanya memasuki pagar kayu kemudian menyeberangi pekarangan rumah. Pram melihat sekeliling dan tak mendengar suara apa pun di dalam. Ia menyuruh Jenaka untuk tunggu di depan pintu kemudian berjalan ke area sisi rumah yang lain.

Jenaka mengetuk mencoba memanggil orang yang mungkin ketiduran dan lupa untuk menyalakan lampu rumahnya. Gadis itu mengusap kedua lengannya yang semakin dingin. Ia menunduk dan melihat sebuah cairan gelap mengenai sepatunya,

Mengikuti rasa penasarannya, Jenaka berjongkok untuk menyentuh cairan itu. Jenaka mundur beberapa langkah untuk melihat warna cairan itu dengan bantuan cahaya bulan. Ia mendekatkan ke arah wajahnya. Terdapat bau amis di sana.

Gadis itu membulatkan matanya terkejut ketika melihat warna merah gelap mengotori ujung tangannya.

"Jenaka?" panggil Pram.

Gadis itu mendongak. Pram yang khawatir segera mendekat. Ia memegang pergelangan tangan Jenaka dan memeriksa cairan yang Jenaka sentuh.

"Brengsek."

Pram berbalik dan membuka pintu dengan paksa. Sebuah jasad tergeletak di dekat pintu. Darah mengalir dari kepala. Pram memeriksa jasad wanita di depannya. Jenaka ikut masuk dan menyalakan saklar lampu rumah yang berada di dekat pintu.

Setelah lampu dinyalakan mereka bisa melihat semuanya dengan jelas. Ruangan yang penuh akan meja kaca yang seharusnya menjadi tepat banyak perhiasan pecah. Semua perhiasan di sana hilang. Jenaka menutup matanya ketika ia melihat jasad lain yang tengah memeluk sebuah map.

Iskandar muncul lebih cepat.

"Ada apa? Kenapa kalian tidak-biadab!"

Pram menghampiri Jenaka. "Jenaka, kamu kembali ke mobil. Tunggu saya di sana."

"Tidak. Saya harus tetap di sini."

"Tapi kamu-"

"Bukunya, Pram! Cari dulu buku tamunya!" potong Jenaka yang tidak ingin membuang-buang waktu.

Pram memperhatikan Jenaka dengan lekat. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak terpengaruh akan pemandangan mengerikan di depannya. Bahkan Jenaka tengah memperhatikan jasad yang ada di bawah kaki mereka saat ini.

"Baiklah."

Pram dan Iskandar memeriksa semua buku yang ada di sana. Seharusnya ada buku tamu di antara tumpukan-tumpukan buku juga kertas itu. Jenaka mencoba bergerak ke arah lain tanpa menginjak serpihan kaca. Namun itu sangat tidak mungkin. Serpihan kaca memenuhi semua lantai berbaur dengan darah dua korban.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang