Sungguh, Naruto sangat ingin menyentuh jemari dingin yang sedang menaut di atas pangkuan sang wanita. Sangat ingin mengatakan padanya betapa besar dirinya patah.

"Aku menyesal. Aku sangat menyesal." Naruto mengiba begitu menyayat. "Bisakah kau memberiku kesempatan?"

Hinata menggeleng pelan. Naruto ingin merapikan untaian panjang tersebut agar terselip di balik telinga, dan ia bisa menatap kembali wajah yang begitu ia rindukan.

"Kau membuatku melewati banyak neraka, Naruto."

Kini, giliran Naruto yang terdiam dan menunduk.

"Membuatku harus berjuang keras melawan diriku sendiri agar tetap waras setelah kehilangan banyak hal. Apa kau tahu, bagaimana siksanya aku?" Terisak. Hinata tidak bisa lagi menahan airmata yang dibendung. Kelemahannya adalah hal di masa lalu. Serta, bagaimana saat ini dirinya sedang meluapkan perasaan terhadap ia yang menjadi alasan masa lalu, Hinata seperti hancur.

"Jika kau merasa hidupmu rusak, aku mengalami yang jauh lebih parah."

Naruto mengangguk. Ia mengerti. Ia paham bila dirinya sudah membuat Hinata begitu berat.

Lalu, bersama berbagai pertimbangan yang sudah ia tetapkan, jemari panjang tersebut telah meraih tangan yang sedari tadi sangat ingin ia sentuh. Menggenggam begitu erat, hingga Hinata sempat dibuat tersentak begitu jelas. Ini adalah sentuhan hangat pertama yang mereka lakukan setelah lamanya tak saling menyentuh.

"Izinkan aku memperbaiki segalanya, Hinata."

Tetapi, Hinata tidak bergeming. Rembulan tengah menatap samudra di hadapannya begitu jauh. Ia menemukan kesungguhan, tetapi, keraguan Hinata masih tidak bisa ditambal.

Takut. Ia takut. Ketika berada di gereja bersama Erika, Hinata sudah berkata jika perasaan tersebut adalah yang paling unggul menguasai dirinya. Rasa takut yang membuat ia tidak berani menggapai kebahagian. Rasa takut yang membuat ia tak bisa melangkah. Rasa ... yang membuat ia tidak ingin mengalami hal yang sama.

Trauma. Hinata terlalu takut terjatuh untuk kedua kali.

"Aku tidak bisa, Naruto."

Remasan pada jemarinya semakin mengerat.

Tatapan Naruto berubah sendu. "Kenapa?"

Setetes airmata kembali jatuh. Mengalir untuk menetes pada pangkuan.

"Aku takut."

Sunyi. Jiwa keduanya bak terombang tak menentu. Genggaman Naruto belum terlepas, dan Hinata tak berniat mencoba melepas.

"Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya." Hingga ketika Naruto kembali berkata, dan sunyi kembali pecah. "Bagaimana perasaanmu padaku?"

Netra Hinata bergetar.

Bagaimana perasaannya pada Naruto?

"Aku masih mencintaimu." Tetapi, Naruto sudah mengungkapkan lebih dulu.

Lebih banyak lagi, Hinata dibuat tenggelam.

"Tolong, beri aku kesempatan."

"..."

"Aku ingin bersamamu. Aku bersungguh-sungguh ingin memperbaiki semuanya. Izinkan aku."

Semakin banyak, tangis Hinata berubah kian terombak meski tak dengan suara keras. Ini sesuatu yang sulit.

Jika berbicara mengenai perasaan, apakah ada alasan lain mengapa rasa sakit bisa tetap bertahan begitu lama dalam dirinya?

Hinata memang masih memilikinya, itulah mengapa ia takut. Hinata masih memilikinya, itulah mengapa ia tidak ingin jatuh. Naruto adalah alasan dari semua alasan yang ia miliki. Apabila ia menerima, bagaimana jika perasaan ini akan membawa ia kembali pada kehancuran?

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant