24

926 195 25
                                    

Erika sudah terlihat cantik sekali dengan gaun bermotif bunga matahari yang membungkus hingga lututnya. Rambut halusnya terikat ponytail dengan poni kanan yang tersisir rapi.

Hinata yang memilihkan semua untuknya. Karena nanti mereka akan mengambil beberapa gambar, maka, gadis kecil itu harus dibuat secantik mungkin.

Izin dari sang Papa telah diterima, maka, Erika tak merasa terbeban untuk pergi kali ini. Apalagi, dia bersama Hinata yang sudah pasti tak akan melepas jangkauan pengawasan sedikit pun.

Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan mereka. Meski lokasi yang dikunjungi hanya seputaran kota, namun, dapat dipastikan jika Erika tetap puas ketika tiba.

Erika pernah berkata jika ingin pergi ke sungai, maka, Hinata membawanya untuk datang ke danau pinggir kota. Mereka menghabiskan untuk menikmati pemandangan beberapa ekor merpati yang sengaja mendekat serta menunggu roti di tangan Erika.

Waktu mencapai malam masih cukup lama, oleh karena itu, Hinata menyempatkan untuk menuntun Erika ke taman bunga yang letaknya tak begitu jauh dari sana.

Puas menikmati keindahan warna-warni dari kumpulan tanaman, Hinata mulai memutar otak untuk menentukan tempat mana lagi yang harus mereka datangi setelah ini.

Lalu, mendadak perhatian Hinata tertuju pada Erika. Arah tunjuk gadis tersebut, sempat membuat Hinata mengernyitkan kening.

"Guru Hinata, aku ingin ke gereja."

Pandangan Hinata mengarah pada sebuah bangunan dengan arsitektur gaya yang khas. Menara yang mengisi salah satu sisi bangunan -- tampak menjulang tinggi menjangkau udara.

Sejenak, Hinata tak yakin jika mereka benar-benar akan ke sana. Tetapi, merasakan betapa besar keinginan Erika untuk melakukannya, akhirnya, Hinata setuju.

Pintu besar terbuka. Mereka disambut oleh gema ketika menjejakkan langkah semakin dalam. Salah satu bangku panjang yang tersusun rapi -- mereka pilih sebagai tempat bersinggah dan mendudukkan diri.

Ketika Erika melipat tangannya di depan dada sembari memejamkan mata, Hinata hanya berdiam di dekatnya dan memandangi wajah tersebut cukup lama.

Perlahan, Hinata menoleh. Kini, ia menyorot kedepan; pada sebuah salib besar yang berdiri di atas mimbar.

Pikirannya mendadak terasa kosong.

"Apa harapan terbesar Guru Hinata saat ini?"

Kening Hinata mengerut cukup dalam. Ada banyak hal yang ia bayangkan, namun, tak terbesit sedikit pun harapan. Hidup yang ditempuh -- sudah dalam takaran cukup baginya untuk merasakan segala kepahitan. Jika memang dituntut untuk memberi jawaban, Hinata hanya menginginkan satu hal;

"Entah, aku tak tahu apa yang kuharapkan saat ini. Tapi, ..." Hinata tersenyum lembut. " ... aku hanya ingin merasa bebas dan bahagia."

"Bebas? Guru Hinata terikat pada apa?"

Senyuman Hinata luntur secara perlahan. "Sesuatu ... yang ingin kuhapuskan."

"Apa itu?"

"Ketakutan. Satu rasa yang membuatku tak berani untuk melangkah dan menggapai kebahagiaan."

Mata Erika menyendu. "Apa seburuk itu?"

Dan Hinata membalasnya dengan anggukan. "Buruk sekali."

"Kalau begitu, yang perlu Guru Hinata lakukan sekarang adalah berdoa. Tuhan mendengarkan semua doa. Meski terkadang rasanya beberapa doa itu tak dikabulkan dengan cepat, tapi, Papa berkata jika Tuhan bekerja bukan untuk waktu yang cepat, tapi waktu yang tepat."

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now