31. Bukan Membenci

132 9 0
                                    

Waktu terasa berjalan begitu cepat saat cahaya matahari senja mulai nampak menghiasi langit.

"Lo beneran nggak papa?"

"Yaelah, gue baek-baek aja!"

Sekarang ketiganya berada di tempat 'penitipan motor dan mobil', mengambil kendaraan mereka masing-masing, bersiap untuk pulang.

"Hati-hati bro, gue titip Naila ya!" Pamit Gafi sebelum meninggalkan tempat itu dengan motor sportnya.

Tanpa harus mendengar jawaban dari sahabatnya yang berada di dalam mobil, Gafi langsung memacu kecepatan motornya di jalanan yang cukup padat dengan kendaraan.

Niat hati ingin pulang naik ojek online, namun Gafi lupa jika ia membawa motor sendiri. Ingin ditinggal tapi takut kemalingan, tidak ditinggal tapi nyawa taruhannya.

"Kalo tau bakal gini, mending gue nggak usah bawa motor!" Batinnya kesal.

Beruntung ia sudah cukup terbiasa berkendara dengan keadaan seperti saat ini. Yah, berdoa saja ia bisa selamat sampai rumah.

Gafi menyalakan lampu seinnya dan berbelok kekanan. Kemudian kembali memacu laju kendaraannya sebelum berhenti tepat di depan rumah tingkat 2 yang di dominasi dengan cat putih.

Gafi diam termenung, heran. Pintu rumahnya terbuka, dan ada mobil berwarna merah menyala terparkir tepat dihalaman rumahnya. Tamu macam apa yang tidak memiliki sopan santun seperti ini? Keterlaluan!

Ia memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil merah itu, dan langsung melenggang masuk ke dalam rumah.

Saat ia berada di ambang pintu, Gafi dapat melihat sesosok siluet pria jangkung yang sibuk menelusuri ruang tamunya.

"Maaf, anda siapa?" Tegas Gafi.

Pria itu berbalik, melangkah mendekati Gafi.

"Kau sudah pulang, anakku?" Gafi tercengang saat mendengar suara yang sangat familiar keluar dari bibir pria itu.

"A-ayah?"

Pria itu tertawa hambar.

"Kau masih mengingatku? Anak pintar!"

Gafi berdecih, entah apa lagi yang di inginkan William kali ini. Apapun itu, Gafi ingin semua ini cepat berakhir. Ia ingin mengistirahatkan tubuhnya yang sudah sangat lelah.

"Apa lagi?"

"Aku tau kau pasti akan membantuku anakku"

Untuk yang kesekian kalinya Gafi kembali berdecih. Omong kosong dengan semua ucapan basinya.

"Cepat katakan, brengsek!" Kesabarannya benar-benar sudah berada di ujung tanduk. Jadi tidak seperti biasanya ia akan berkata dengan kasar seperti ini.

Entah mengapa Wiliam merasakan amarahnya yang sudah lama terpendam kembali berkobar, ia melangkah tegas mendekati Gafi. Tubuhnya seperti memiliki pemikiran sendiri, dan mengontrolnya untuk bergerak.

Plak!

Tubuh Gafi jatuh tersungkur di lantai hanya dengan satu kali tamparan.

"Jaga ucapanmu!" Tegas Wiliam.

Gafi bangkit dengan masih mengusap pipinya yang terasa pedas, ia terkekeh.

"Anda siapa, seenaknya saja masuk ke rumah bunda saya tanpa izin? Apa hak anda mengatakan semua omong kosong itu kepada saya? Ah tunggu, apakah saya mengenal anda? Saya harap anda cepat keluar dari sini"

Wiliam terlihat mematung ditempat, sepertinya ia merasakan perubahan sifat yang sangat drastis dari Gafi.

Seorang anak cengeng yang selalu berlindung dibelakang sang bunda, sekarang telah tumbuh menjadi pemuda angkuh? Astaga, ini pasti hanya pencitraan Gafi belaka agar tidak terlihat lemah di hadapannya.

Fight(alone)Where stories live. Discover now