22. Kesepian?

171 13 0
                                    

H-4

Ia merasa sangat lelah, satu malam terlewati tanpa bisa memejamkan matanya sekalipun, sudah di pastikan, pasti tampangnya seperti mayat hidup. Entahlah, apa yang membuatnya sampai tak bisa tidur semalaman.

Bisa jadi, karena ia merasakan hawa tak nyaman saat berbaring di brankar seharian. Ingin rasanya keluar dari ruangan ini, walau hanya sekedar menghirup udara segar. Namun, untuk bangkit saja rasanya ia tak sanggup, tubuhnya masih terlalu lemah.

Paling tidak harus ada yang menemaninya atau membantunya mendorong kursi roda. Tapi siapa? Tidak mungkin ada yang menjenguknya hari ini, yang tak lain karena ini akhir pekan. Lebih baik bersantai dirumah daripada mengurusi seorang yang sakit, benar 'kan?

Boleh-boleh saja ia meminta tolong pada para perawat disana, tapi sepertinya itu tidak akan menyenangkan.

Ia tertawa hambar. Apa yang sedang ia pikirkan tadi, seperti bukan ia yang biasanya. Entahlah semakin lama ia semakin sering merasa kesepian, tidak seperti dulu yang selalu ingin melakukan segalanya seorang diri.

Tok! Tok! Tok!

"Pagi, Gaf!" Sapa Raffi.

Ia melenggang masuk kedalam, lalu menghempaskan dirinya pada sofa yang terletak tepat disamping pintu masuk.

Raffi terlihat menikmati keempukan sofa dan hembusan AC ruangan dengan menutup matanya. Gafi mulai berpikir, sepertinya Raffi kesini hanya untuk pelarian dari omelan sang mama.

Biarlah, yang penting ia merasa lebih baik sekarang. Daripada sepi seperti sebelumnya.

Saat seseorang selain dokter atau perawat masuk kedalam ruang rawat inapnya, ia merasa tidak lagi kesepian dan merasa lebih nyaman.

"Tumben nggak kabur lagi lo, Gaf?" Ledek Raffi dengan mata yang masih tertutup.

Gafi menghela nafas gusar, jika saja ia sudah sanggup untuk bangkit, dipastikan nyawa Raffi akan terancam.

"Diem lo"

"Hahaha, canda atuh! Mau jalan-jalan nggak?"

"Yok!" Ia terlihat sangat antusias, lagipula inilah yang ia inginkan sedari tadi.

Raffi keluar, untuk mengambil kursi roda, sekalian meminta izin pada perawat disana. Walau ada sedikit cekcok yang menghalangi, tapi babak ini dimenangkan olehnya.

"Makasih, Suster" Gafi tersenyum lebar, setelah Diana membantunya berpindah ke kursi roda. Ia masih setia memangku tabung oxygen portabel yang terhubung dengan nasal cannula yang ia kenakan. Dan jangan lupa pada selang infus yang masih menempel dipunggung tangannya.

Meskipun kepalanya keliyengan ketika duduk di kursi roda, tapi itu tidak mematahkan rencananya untuk menghirup udara bebas di taman.

Ah, benar! Ia perlu tau alasan Raffi datang menjenguknya, apakah benar hanya sekedar pelarian?

"Kalo nggak ditengokin, ntar lo kabur lagi"

"Dih, su'uzon!"

"Tapi lo keren, Gaf!"

"Hah? Maksudnya?"

"Bisa kabur tanpa ketahuan!"

Ayolah, yang mereka bicarakan ini random sekali! Apa maksudnya keren? Apa dia pernah mencobanya tapi gagal? Ahh, bodoh sekali!

Mereka sudah berada ditaman, taman rumah sakit yang dielmgkapi dengan air mancur dan bangku yang mengelilinginya.

Banyak para pasien disana juga terlihat menikmati udara segar, dan ada pula yang sedang terapi. Dari sekian banyaknya pasien disana, ia tertuju pada gadis mungil yang berkumpul bersama keluarga kecilnya dibagian paling selatan yang terlihat sepi.

Fight(alone)Where stories live. Discover now