21. Malaikat Kecil

209 12 0
                                    

H-5

Matahari yang tadinya masih malu-malu kucing, sekarang sudah dengan gagah berani menampakkan cahaya-nya yang menyilaukan. Bersamaan dengan iringan kicauan burung yang menambah suasana damai pagi ini.

Damai? Memang benar. Tapi tidak baginya. Terpenjara didalam ruangan serba putih semalaman dan sendirian, ini sangat memuakkan. Bukannya ia takut sendirian, namun ia hanya merasa kesepian saja disini.

Ingin sekali ada seseorang yang menggenggam tangannya, menghangatkan setiap sudut jemarinya, dan mengusap lembut punggung tangannya. Tapi sayang, gengsinya yang terlalu besar menghancurkan semua impiannya.

Ia menautkan jemarinya, saling bergenggaman, walau hanya kedinginan yang ia dapatkan. Memejamkan mata, dan mulai membuat skenario saat ada seseorang yang menggenggam, mengusap serta menghujani tangan ringkihnya dengan ribuan ciuman.

Menyedihkan, semakin erat genggaman tangannya semakin ia merasakan kedinginan yang begitu menusuk, nafasnya berderu tak karuan, lidahnya terasa kelu. Menyakitkan sekali harus merasakan semuanya sendiri.

"Kak Faz kenapa nangis?" Samar tapi pasti, ia mendengar gumaman samar dari suara yang sangat tak asing lagi baginya. Bersamaan dengan itu, ia merasakan tangan mungil nan hangat mengusap lembut punggung tangannya.

Ia membuka mata, seorang malaikat kecil berdiri dihadapannya dengan seulas senyum manis tergambar diwajah cantiknya.

"Kak Faz jangan nangis lagi, ya? Nanti aku ikut sedih!"

Ia menggeleng pelan.

"Kak Faz nggak sedih, kok! Liat nih"

Ia mengembangkan senyumnya mengikuti apa yang diinginkan sang malaikat kecil didepannya. Gadis kecil itu terlihat sempurna dimatanya saat ini, ia berdiri tegap tanpa kursi roda yang menghalangi langkah kecilnya, tanpa selang-selang yang menghalangi gerakan energik-nya.

"Kak Faz cepet sembuh, ya! Nanti kita bisa main lagi!"

Ia memangguk pasti. Sang gadis itu mengacungkan jari kelingking mungilnya, yang tentu langsung dismabut dengan jari kelingkingnya, mereka saling bertautan, menyerukan sebuah janji.

"Aku mau panggil mama dulu, ya! Kasihan udah nunggu daritadi didepan!"

Gadis itu berlari dengan riangnya, tanpa merasakan apa yang selalu ia keluhkan.

Benar saja! Tak lama kemudian ia mendengar suara ketukan pintu, saat pintu terbuka, seorang wnaita muda muncul dari sana, sendirian. Tidak bersama....

"Raya mana, Ma?" Lirih Gafi pelan.

Senyum Shinta seketika memudar saat mendengar nama yang baru diucapkan Gafi. Ia terlihat murung.

"Dia tidur" Jawabnya singkat.

"Secepet itu? Padahal tadi baru aja ngobrol sama Gafi, lho!"

Deg!

Tidak mungkin, mustahil. Wajahnya berubah menjadi tegang. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"A-apa m-maksud kamu, sayang?" Ia mencoba untuk tenang, mungkin karena kondisi Gafi yang drop membuat pikirannya tidak karuan seperti ini.

"Iya, tadi Raya ngobrol sama Gafi, terus bilang Kak Faz cepet sembuh, ya! Nanti kita bisa main lagi!" Gafi bagaikan anak kecil berumur 5 tahun saat mengucapkan hal itu dengan entengnya.

"Kamu mungkin kurang istirahat, tidur dulu ya!" Ia menarik selimut tebal, menutupi separuh tubuh Gafi yang terbaring tak berdaya diranjang rumah sakit.

"Nggak! Raya mana, Ma! Gafi masih mau ngobrol sama dia! Gafi pengen main sama Ra--"

Fight(alone)Where stories live. Discover now