10. Masa Lalu

227 17 0
                                    

Suara desahan manja beradu dengan nafas memburu yang bergairah.

Sejak kedua orang tuanya bercerai, sang ibu selalu membawa pria hidung belang keruang kerjanya dan bermain mesra semalaman.

Berbeda dari sang ibu yang sedang bersenang- senang memuaskan nafsu.

Ia terbaring lemah diranjang, meratapi kondisinya yang semakin kacau karena sering sakit-sakitan.

Seperti biasa, ketika pikirannya sedang kacau dan dangkal ia selalu mencoba segala cara untuk mati.

Ia membuka laci rak dapur, menemukan beberapa bungkus kopi yang biasa ia minum dulu.

...

Tak terasa ia sudah meminum 2 gelas kopi, tapi rasa puas dalam dirinya belum terpenuhi, padahal tubuhnya sudah mulai memberontak.

Pyar!

"Raff! Sadar Raff!?" Ia membanting gelas yang dipegang Raffi.

"La? Lo beneran nepatin janji untuk dateng nemenin gue, ya?" Raffi mengulas senyum diatas bibir pucatnya.

"Nggak!! Lo bukan Raffi yang gue kenal!!"

"La, gue udah capek"

"Tapi bukan gini caranya, Raff! Ini sama aja lo nyakitin diri sendiri!"

"Gue nggak peduli La!? Gue muak! Lebih baik gue ma--"

Deg!

"Tenangin pikiran lo, Raff! Nangis aja kalo elo akan merasa lebih baik" Perlahan Naila mengeratkan pelukannya pada tubuh Raffi.

Pertahanannya seketika runtuh, ia menangis sesegukan dalam dekapan Naila.

Sejak kecil ia memang sering sakit-sakitan, kedua orang tuanya berpikir hanya karena daya tahan tubuh anak kecil yang lemah.

Tapi seiring bertambahnya usia, bertambah pula penyakit yang ia idap. Sang ayah yang tidak bertanggung jawab, akhirnya memilih berselingkuh dengan wanita lain dan menceraikan istrinya.

Membiarkan keluarganya terlantar, dan menikahi selingkuhannya.

Harapan satu-satunya Raffi hanyalah sang ibu, yang masih setia merawatnya dan membiayai segala pengobatannya.

Tapi hal yang sama kembali terulang, ibunya depresi, kehabisan uang dan kehilangan semuanya. Ia seperti lupa jika putra semata wayangnya masih disisinya.

Melupakan Raffi dan bersenang-senang memuaskan nafsu.

"La, l-lo ma-sih i-nget o-bat g-gue, k-kan?"

Naila tertegun, lalu mengurai pelukannya. Ia terbelalak ketika melihat wajah sahabatnya yang merah padam karena menahan sakit.

Segera ia bangkit dan berlari meninggalkan Raffi sendirian disana.

Ada rasa penyesalan dilubuk hatinya karena telah melakukan tindakan bodoh, yang malah berdampak buruk bagi dirinya sendiri.

Sekarang kedua penyakitnya kambuh bersamaan, maag dan gagal ginjal.

Kali ini terasa lebih menyakitkan dari biasanya.

Hue! Ia muntah darah.

Bukan cuma sekali tapi sudah sampai 3 kali berulang ia mengalaminya. Hingga cairan kental pekat itu rata membanjiri pakaiannya.

Jantungnya berdegup lebih kencang, antara syok dan menahan sakit.

"Raffi!!" Suara Naila yang terakhir ia dengar sebelum pandangannya menjadi gelap.

...

"Oit! Raff! Dah bangun lo?" Sebelum matanya terbuka sempurna, samar-samar ia mendengar suara yang tak asing ditelinganya.

"Pagi!" Tenggorokannya tercekat, ketika melihat seseorang tak jauh darinya sedang terbaring lemah dengan kondisi yang hampir sama dengan dirinya.

"G-gaf? L-lo ke-napa?"

Gafi mengembangkan senyum khasnya, lalu sedikit menyingkap bagian bawah kemeja rumah sakit yang ia kenakan, memperlihatkan sebuah luka sayatan lengkap dengan jahitan yang masih terbungkus perban.

"Jreng! Titip ginjal gue ya!" Kemudian ia terkekeh singkat, membuat oxygen mask yang ia kenakan penuh dengan uap air.

Tok! Tok!

Krek!

"Ga-- Eeh!?"

"Pagi Nai!"

"Gue panggil dokter dulu ya!"

...

"Dok, sebenarnya saya kenapa?" Tanya Raffi yang masih bingung.

Sang dokter tersenyum, lalu menceritakannya secara rinci dan detail.

Dua hari lalu, tepatnya jam 23.15 ia dilarikan kerumah sakit karena penyakitnya kambuh. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata ginjal kirinya sudah rusak parah, dan tidak bisa lagi menyaring darah.

Walau ginjal kanannya masih normal, tapi bila dipaksa terus-menerus juga akan memiliki kemungkinan yang sama buruknya.

Dan dokter memilih jalan terakhir, yaitu transplantasi ginjal.

Ibunya yang ikut menyusul, langsung menangis histeris, merasa gagal menjadi seorang ibu.

Entah karena stres atau pikirannya yang sedang mentok, ia langsung menelfon Gafi dan memohon untuk menjadi pendonor ginjal untuk putranya. Karena dari segi golongan darah saja mereka berdua beda.

Bodohnya, Gafi tanpa pikir panjang mengiyakan permintaan Disma dan datang kerumah sakit saat itu juga. Setelah melewati beberapa pemeriksaan dan tes, maka dinyatakan ginjal keduanya cocok.

"Besoknya walau terpaksa, kami tetap melakukan transplantasi, padahal usia temanmu itu sama dengan mu, kan?"

"I-iya"

"Sangat beresiko sebenarnya bagi pendonor, tapi ini semua kami lakukan untuk menyelamatkan mu"

Lidahnya kelu, ingin menangis pun rasanya tidak sanggup.

"Sayang? Kamu kenapa?" Ia menoleh kesumber suara, dan mendapati seorang wanita paruh baya menatapnya sendu.

Sedikit terbesit rasa kesal dan marah dihatinya, "Ma, Raffi pengen sendiri dulu"

"Tapi sa--"

"Please Ma!" Ia sedikit menaikkan nada bicaranya, membuat Disma mengalah dan melangkah kecewa keluar ruangan.

Ia menjambak rambutnya frustasi, kemudian membanting beberapa obat dan benda yang ada di atas nakas melampiaskan rasa kesalnya.

"Oit! Raff habis operasi jangan stres dong! Nanti nggak kering² lho jahitannya!"

Sial! Ia lupa bahwa Gafi satu kamar dengannya.

"Jangan cengeng! Gue nggak kenapa-napa lho!" Lanjutnya lagi.

Baru sadar jika ia menangis, Raffi langsung membuang mukanya kearah lain dan mengusap kasar air matanya.

"Gue tau lo kesel sama nyokap lo, tapi inget Raff! Dia ngelakuin itu juga untuk kebaikan lo"

"Bukan berarti lo yang harus jadi pendonor, Gaf?!"

"Iyaa, tapi gue juga ikhlas kok jadi pendonor buat lo, bahkan gue seneng, sepanjang hidup gue nggak bakal nyesel! Lo kan udah banyak bantu keluarga gue?"

Gafi kembali mengembangkan senyumannya, membuat Raffi reflek mengikutinya.

SEKIAN

(untuk part ini)

Fight(alone)Where stories live. Discover now