1. Menyakitkan

1.9K 51 1
                                    

"Ya Allah.. kenapa lagi gue?" Ia melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambut berantakan dan bibir pucat pasi menghiasi wajahnya dipagi hari ini.

Shhhh...

Keran diwastafel mengucur deras membantunya membersihkan sisa sisa darah yang menetes dari hidungnya. Niat awal belajar dini hari ia urungkan, untuk melangkah menuju ranjangnya saja terasa sangat menguras tenaga. Ia memilih membaringkan tubuhnya mengembalikan kembali energi yang terkuras.

Ia mengambil benda pipih yang berada di nakas samping ranjangnya, layar handphone menujukkan pukul 05.35 berarti sudah hampir satu jam setengah ia berdiri di kamar mandi.

Tanpa sadar ia kembali terlelap.

Waktu terus berjalan, matahari yang awalnya malu-malu bersembunyi di ufuk timur kini telah menampakkan wujudnya secara utuh.

"Pakk!! Buka gerbongnya pak!!" Nafasnya tersengal karena berlari dari rumahnya menuju sekolah dengan jarak yang lumayan jauh.

Greeekk...

Bunyi pagar besi berderit terdorong kesamping kanan memberikan ruang untuknya lewat. Ia mengacungkan jempol memberi tanda terimakasih pada pak satpam yang berjaga, walau ia tetap akan dihukum karena terlambat.

"Berdiri di tengah lapangan sekarang sampai jam istirahat pertama!!" Telinganya terasa ngilu mendegar jeritan guru fisika nya itu. Tidak ingin menyia-sia kan waktu ia berlari kecil menuju lapangan upacara.

Salah satu alisnya terangkat ketika mengetahui ia tidak sendiri, ada seorang perempuan dengan rambut sebahu yang sedang melakukan hukuman yang sama dengannya. "Ciee.. telat ya?"

Si cewek hanya memandang risih kearahnya. Tapi seketika mereka berdua tersadar.

"Lo!?" Ujar mereka bersaman.

"Naila?"

"Gafi?"

Setelahnya mereka terkekeh bersama. "Kayaknya lo baru pindahan yak? Baru ketemu sekali ini soalnya" ucap Gafi membuka pembicaraan.

"Hooh, baru aja kemaren gue balik dari Tokyo, ehh malah langsung disuruh sekolah aja, pikir gue kan ya.. bisa santai dikit lah abis cape cape"

"Owhh.. jadi ceritanya ini hari pertama lo masuk plus telat?" Naila hanya terkekeh mendengar ocehan teman lamanya itu.

"Btw, Raffi apa kabar? Kayak nya dia sekolah disini juga kan?" Gafi mengangguk menanggapi pertanyaan Naila. Mereka terus berbincang dan bercanda ria sampai seolah melupakan bahwa mereka sedang menjalani hukuman.

Saatnya istirahat..

Bel sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat, segera mereka berlari menuju koridor sekolah untuk meredakan rasa panas ditubuh, sebelum kembali ke kelas mereka masing masing.

"Gue kira nggak berangkat lo" Raffi berjalan kearahnya dan menyodorkan segelas air mineral. Tanpa aba aba Gafi langsung menyambar dan meneguknya sampai tandas.

"Thanks, broo. Gue ke kelas dulu yak!" Lalu dijawab dengan acungan jempol dari Raffi.

Dikantin sekolah..

"Tumben beli jajan, belum sarapan lo?" Ucap Raffi sambil menikmati siomay yang tersaji didepannya.

"Hooh, nggak sempat tadi" Gafi membuka kemasan roti dengan selai coklat lalu melahapnya.

Baru dengan gigitan kedua, nafsu makannya seketika hilang tergantikan dengan gejolak aneh yang ia rasakan didalam perutnya. "Kenape lo?" Tanya Raffi yang menyadari perubahan ekspresi temannya itu. Gafi hanya menjawab dengan senyuman mengode bahwa ia baik baik saja.

"Telat sarapan, udahlah nanti juga hilang sendiri " Segera ia menepis tentang pikiran negatifnya sambil terus mensugesti pikirannya.

Waktu terasa berjalan begitu cepat, kini tepat pukul 15.45 bel pulang berbunyi semua siswa segera berhamburan keluar kelas, ada yang masih tetap disana karena mengikuti ekstrakulikuler, ada yang langsung pulang, dan juga ada yang melanjutkan belajar dengan les.

"Ada ekstra hari ini?" Raffi memagangguk mengiyakan.

"Oke, nanti pulang hati hati, lagi rawan kasus penculikan anak sekarang" Gurau Gafi.

"Lo kira gue anak TK apa?" Gafi hanya terkekeh ketika mendapat tatapan tajam dari temannya itu. "Yaudah gue duluan" Pamit Gafi sambil berjalan ke luar ruang kelas.

Suasana sore hari terasa damai, Gafi berjalan santai ditrotoar sambil memandang jalanan yang tidak terlalu padat dengan kendaraan bermotor, ia menegok ke kanan dan kiri sebelum menyebrang menuju sebuah minimarket pinggir jalan.

"Sore mba Larass" Sapanya kepada seorang wanita yang sedang duduk santai dimeja kasirnya. Usia mereka berdua terpaut cukup jauh memang sekitar 6 tahun.

"Gimana sekolahnya?" Tanya Laras sekedar basa basi.

"Yaa.. gitu deh, tugas numpuk biasalah mba. Mba Laras sendiri gimana kuliahnya udah mulai skripsi belum?"

"Udah, besok mba Laras mau sidang skripsi malahan doain aja semoga lancar... yaudah ganti baju dulu gih sana" Gafi mengangguk berlalu menuju loker pekerja.

Mengenakan seragam berwarna biru tua dan putih serta celana panjang berwarna hitam, tidak menghilangkan ketampanan nya sedikit pun.

Langkah terhenti ketika merasakan kepalanya yang begitu berat dan berputar, telinganya berdengung, menarik nafaspun rasanya sangat sulit.

"Gaf mba mau pu- ASTAGA GAFI!!" Laras segera menangkap badan Gafi yang hampir ambruk.

"Hhhhh.. mba- se-sek- ga-fi hhh.. ng- gak-" Dadanya terus naik turun tapi tidak ada sedikitpun udara yang dapat ia hirup.

Laras yang panik segera memanggil ambulance.

"Hey jangan nangis nanti malah tambah sesek Gaf"

Laras membaringkan Gafi dikursi panjang untuk sementara. Ia berusaha mencari oxygen mask yang terjual diminimarket tempat bekerjanya. Setelah mendapatkan benda tersebut segera ia pasangkan ke wajah Gafi dan menginstruksinya perlahan.

"Oke, tenang ikut instruksi mba, inhale"

"Exhale.. gimana udah mendingan?" Gafi menggeleng. Ia masih tidak bisa menghirup oksigen yang ada disekitarnya walau sudah menggunankan alat bantuan. Air matanya bercucuran membasahi pipi tirusnya. Laras lagi lagi hanya bisa menginstruksi Gafi, tapi ia terus menggeleng.

Sampai akhirnya ambulance datang, petugas kesehatan membopong tubuh lemah Gafi ke ranjang darurat dan memasukkannya ke dalam mobil. Laras juga turut menemani Gafi disampingnya, ia terus menggenggam erat tangan pucat Gafi. Sedangakan para petugas masih sibuk memasang alat bantu nafas. Entah mengapa Gafi terus memberontak, menghindari pemasangan alat bantu nafas padahal ia tadi menangis karena tidak bisa bernafas.

Laras menggeleng mengode Gafi untuk tidak memberontak. Gafi menurut, lalu kemudian ia terlihat tenang perlahan matanya mulai menutup. Laras mengecup singkat dahi Gafi, entah mengapa hatinya terasa ngilu melihat kondisi seorang yang ia sudah anggap adiknya sendiri terbaring lemah.

Ambulance berhenti tepat didepan ruang Unit Gawat Darurat rumah sakit daerah, segera ia dipindahkan ke brankar dan didorong masuk kedalam. Laras hanya bisa mondar mandir didepan ruang UGD menunggu dokter yang menangani Gafi keluar ruangan.

"Gue harus hubungi siapa? Dia udah nggak punya ortu, saudaranya juga jauh, ah iya! Tante disma"

"Halo laras? Ada apa? tumben telfon tante?"

Laras terisak. "Gafi masuk rumah sakit tan, t-tadi dia-" tangis Laras kembali pecah.

"Yaudah tante kesana sekarang" Sambungan telfon diputus sepihak.

BERSAMBUNG...

Fight(alone)Where stories live. Discover now