26. Rega

126 9 0
                                    

H-1

Sedari tadi ia masih duduk manis diatas meja belajarnya, membolak-balikkan halaman majalah favoritnya, sambil memandang indahnya puluhan koleksi toples miliknya yang terjajar disana.

Eye flower nama yang ia berikan pada salah satu toples yang menurutnya paling berharga. Senyumnya selalu merekah saat melihat keindahan toples itu kapanpun ia memandangnya, bahkan sampai saat ini. Hingga suara ketukan pintu dari luar memecah konsentrasinya.

Pintu terbuka cukup lebar, menampilkan seorang cowok dengan perawakan pendek dengan setelan kemeja putih yang melekat ditubuhnya.

"Ayo berangakat, pemalas!" Cibir cowok itu.

Ia hanya tersenyum, turun dari atas meja belajar, lalu melangkah mendekati cowok itu sambil masih setia menenteng majalah dan toples favoritnya.

"Jauhkan benda itu dariku, menjijikan!" Ia tertawa riang saat melihat cowok yang berstatus sebagai kawannya itu terlihat risih sampai memalingkan pandangannya.

"Ayolah, kau ini benar-benar aneh? Lihatlah! Betapa indahnya mahakarya ku satu inii!! Benar kan?"

Cowok itu bergidik geli, temannya satu ini sudah benar-benar tidak waras.

"Ku tunggu didepan, bersiaplah!"

...

Ia tidak peduli saat puluhan siswa menatapnya dengan tatapan aneh, ia tetap melangkah menyusuri koridor kelas dengan tergesa. Sampai ia tiba tepat didepan pintu salah satu ruangan, ia memberhentikan langkahnya sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!" Saat mendengar suara sahutan dari dalam, ia segera membuka pintu dan melengang masuk tanpa permisi.

"Waah, Gafi? Gimana kabarnya, udah se--"

"Apa maksudnya ini, Pak?!" Ia tidak sengaja memotong ucapan pria paruh baya yang berstatus sebagai kepala sekolahnya itu.

Ia sebisa mungkin mengatur suaranya agar tidak terdengar membentak, namun rasa kesal telah menguasai jiwanya.

Ia menyodorkan secarik kertas yang sudah lecek dengan noda yang bercecer disana-sini sudutnya, terkena lumpur. "Saya tidak meminta semua ini" Gumamnya.

Disurat itu tertulis tentang pengunduran dirinya dari perlombaan yang sudah ia nanti-nantikan selama ini. Dan disitu juga tertera tanda tangannya yang sudah direkayasa oleh entah siapa yang membuat surat palsu ini. Menjadikannya semakin nyata bahwa Gafi sendiri yang ingin mengundurkan dirinya.

"Tenang dulu, Gafi" Pria itu mengajak Gafi untuk duduk disofa panjang yang ada diruangannya. Berharap agar mereka berdua dapat mengobrol dengan kepala dingin.

"Jadi apa masalahnya?" Tanya pria tua itu dengan nada seperti tidak tau apa-apa.

"Saya tidak mengundurkan diri" Ucapnya singkat. Seharusnya dari kalimat yang ia lontarkan sedari tadi itu, sudah bisa menyadarkan sang pria tua dari apa yang ia maksudkan.

Tapi, pria tua itu hanya menjawab dengan ulasan senyum hambar.

"Lalu apa yang kamu inginkan?" Pria itu kembali bersuara setelah beberapa saat tetap terdiam.

"Batalkan pengiriman surat itu dan pemilihan peserta baru, saya masih sanggup melakukannya!"

"Bagaimana jika saya sudah menemukan penggantimu? Lagipula sepertinya kamu sudah tidak bisa kami andalkan"

...

Sedari tadi ia mondar-mandir tidak tenang sambil terus menempelkan ponsel pada daun telinganya. Untuk kesekian kalinya ia mendengus kesal, seseorang yang ia hubungi tak kunjung menjawab panggilannya.

Fight(alone)Where stories live. Discover now