7. Lebih Baik

345 19 2
                                    

Raffi sengaja bolos sekolah hari ini, hanya untuk menemani sahabatnya yang terbaring lemah dibrankar.

Waktu menunjukkan pukul 15.49 jam sekolahnya telah usai 49 menit lalu, tapi Gafi masih setia terpejam di dalam ruang ICU.

...

Gafi terbangun disebuah hamparan taman bunga, tapi dia tidak sendiri disana, ada sosok wanita yang sedang memangku dan memainkan rambutnya.

"B-bunda?" Tak terasa air matanya mengalir katena merindukan sosok yang ada dihadapannya sekarang.

Wanita itu mengecup singkat kening Gafi, lalu membantunya untuk duduk berhadapan. Ia menangkup wajah anak semata wayangnya itu, dan mengulas senyum lembut.

"Bunda kangen banget sama kamu" Akhirnya setelah sekian lama Gafi kembali mendengar suara lembut dan halus itu.

"Bunda.. Gaf kangen sama bunda, Gaf pengen bareng-bareng sama bunda kayak dulu lagi.. Gaf pengen ikut bunda"

Wanita itu menggeleng singkat, lalu memeluk dan mengelus punggung Gafi.

"Belum saatnya, sayang" Setelah "bunda" nya mengatakan itu, ada seseorang yang menarik lengannya. Meski hatinya menolak, tapi entah mengapa tubuhnya patuh mengikuti kemana saja sosok serba putih itu melangkah.

"Banyak yang menantimu, kembalilah"

Sosok itu tersenyum lalu menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang tertarik entah kemana.
...

Gafi menerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya menatap ruangan serba putih berbau obat obatan dan berisik tersebut.

Ia memejamkan matanya, berharap dapat kembali ke hamparan bunga dan bertemu bundanya.

Pintu ruangan berderit, menampilkan seorang pria paruh baya berpakaian serba putih dan diikuti wanita muda yang berjalan dibelakangnya.

Matanya masih setia terpejam mengabaikan dua orang yang berjalan mendekatinya.

"Gafi? Kamu sudah bangun, kan?" Pertanyaan itu membuat Gafi terpaksa membuka matanya.

Ia hanya bisa tersenyum kecil dibalik ventilator yang bertengger diwajahnya. "Apa yang kamu rasakan?"

"N-ng-gak n-nya-man" Ia menunjuk ke arah ventilator.

"Iya nanti akan kita lepas" Kini gantian suster yang menganggapi.

Mereka berdua berjalan mendekati Gafi, memeriksa keadaannya. "Dok, su-dah be-ra-pa ha-ri--"

"Sekitar 3 hari-an, belakangan ini kamu sering mimisan?"

Gafi mengangguk lemah. "Kalo demam tinggi?"

"2 ha-ri"

"Sus, bantu saya melepas ventilator nya"

Gafi hanya bisa memejamkan mata dan mengikuti segala hal yang diinstruksikan dokter, ia tau rasanya akan sangat tidak nyaman.

Setelah semuanya selesai, Gafi dipindahkan keruang rawat inap ditemani dengan infus yang masih setia menempel dipunggung tangannya.

"Hasil tes?" Sang dokter yang sudah hafal kebiasaan pasien spesialnya itu langsung meminta lembaran kertas yang dibawa dan membacakannya.

"Leukemia mielositik akut atau AML, Stadium 3. Sel darah putih yang tumbuh abnormal disumsum tulang belakang kamu mulai menyebar ke organ sekitarnya, gimana? Mau kemo? Atau tetap obat jalan?"

Gafi terdiam sejenak, sedikit menimbang-nimbang perkataan tadi. Tapi kemudian ia kembali menggeleng. "Nggak ada kepastian kalau saya bakal sembuh total, obat jalan aja dok"

Dokter dengan tag name "Wisnu Wijaya" itu menghela nafas berat, lalu pamit keluar ruangan untuk meresepkan obat.

Tok.. tok.. tok..

Sreeekkk..

Pintu ruangan bergeser kekanan menampilkan tubuh tinggi Raffi yang berdiri diambang pintu, lengkap dengang seragam dan tas sekolah yang menggantung dibahunya.

"Yoi! Raff!" Gafi menoleh lalu mengembangkan senyum menyapa sahabat karibnya itu, sedangkan tangannya sibuk menyatukan kancing kemeja, untuk menutupi luka lebam di dadanya.

"Hoi! Ngapain? Udahlah nggak usah, kayak sama siape sih, sungkan segala? Dari dulu aja udah biasa mandi bareng"

Keduanya terkekeh, "Haha.. yee kan nggak enak aja gitu kalo disini"

Raffi meringis ketika merilrik luka lebam yang ada didada Gafi. "Sshh.. sakit banget pasti"

"Kalo sekarang sih udah mendingan, palingan cuma cenat-cenut dikit lah"

"Gimana kata dokter kemarin? Nggak dikasih tau gue"

"Tulang rusuk gue retak, yaa hampir patah sih. Tapi nggak papa, biasanya bisa sembuh sendiri cuma perlu perawatan sama istirahat"

Raffi ber"O"ria mendengar penjelasan Gafi. Memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, jika kondisinya baik dan sehat sehat saja. Masalahnya sekarang ia mengidap penyakit mematikan yang membuat kondisinya semakin parah dan ngedrop.

"Gaf? Lo masih demam?"

Gafi mengangguk sebagai balasan. "Kok lo tau sih? Keliatan banget emang?

"Yee.. tuh dijidat lo ada kompresan bego, ya keliatan lah emang gue buta?"

"Oh iya, lupa hehe"

Obrolan mereka terjeda ketika seorang perawat masuk untuk memberikan makan siang beserta beberapa butir obat. "Saya tinggal dulu, silakan.."

Setelah itu suasana keduanya menjadi hening beberapa saat. "Raff"

"Hm?"

"Ga jadi"

"Dih! Apaan gajelas lo!" Raffi melirik piring yang ada dinakas sebelahnya, daritadi Gafi tidak menyentuh makanan yang ada disana meliriknya saja tidak.

"Makan Gaf" Sambungnya.

"Nanti ah, males gue"

Raffi bukan tipe yang memaksa, jadi ia biarkan saja.

Sreeekk..

"Udah selesai? Cepet amat"

"Nggak jadi, pelatihnya ada urusan katanya" Naila mengalihkan pandangannya kearah lain, dimana ada seseorang yang terbaring lemah dibrankar rumah sakit.

"Naila!! Udah dikasih sama Raffi? Gimana enak dipakai kan?" Naila tersenyum sendu, perasaannya campur aduk menjadi satu ketika melihat Gafi. Air mata bergumul dikelopak matanya, membuat pandangannya memburam.

Naila menghapusnya kasar, "jangan memperburuk suasana, bodoh" Merutuki dirinya sendiri.

"Iya lebih nyaman, nggak nyeri nyeri lagi deh kuping gue, makasih ya" Naila menaruh tasnya disembarang tempat lalu duduk dikursi sebelah ranjang Gafi. Raffi yang merasa canggung dengan keadaan lebih memilih permisi pamit untuk keluar.

"Raffi kenapa?" Gafi menggidikkan kedua bahunya.

"Belum makan Gaf?"

"Belum, belum laper lebih tepatnya"

Naila manggut-manggut, lalu kemudian ia mengambil nampan yang berisi bubur yang lengkap dengan sayur dan lauknya tersebut. Membuka lembaran bungkusan plastik dengan telaten, lalu mengambil sepucuk sendok bubur.

"Kalo nunggu laper mah kelamaan, ayo makan biar cepet sembuh"

Gafi memalingkan wajahnya, antara malu dan menolak. "I-iya nanti gue makan kok"

"Satu aja deh kalo gitu" Naila masih kekeh menyodorkan sepucuk sendok bubur itu dihadapannya. Gafi menyerah, toh ada ucapan Naila benarnya juga.

Ia membuka mulutnya, melihat hal itu Naila merasa senang dan langsung menyuapkannya. Tapi, kemudian ada penolakan dari tubuhnya ketika baru saja menelan bubur tersebut.

"N-Nai gue--" Gafi membekap mulutnya erat, rasa mual diperutnya tak tertahankan.

Bersambung..

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang