Disappear

24K 1.9K 44
                                    

Ali menghempaskan tubuhnya pada kasur king size-nya. Tubuhnya serasa remuk, nyeri luar biasa pada bagian pelipisnya. Sesekali melihat luka-luka lebam di tangannya.

Pemuda itu melenguh panjang. Memejamkan kedua matanya erat, sembari tangannya menjambak kencang rambut hitam legam miliknya itu.

"ARRGGHHHHH!!!" Ali berteriak kencang. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Ia tidak habis pikir dengan Ray yang masih saja menaruh dendam padanya perihal kejadian beberapa tahun silam.

"Maunya apa sih? Bangsat!" Ali meraih benda apa pun yang ada didekatnya. Bantal. Pemuda itu melempar kencang bantal tersebut kearah dinding. Tidak peduli akan barang-barang yang bisa saja rusak atau pecah terkena bantal tadi.

Ali bangkit, melepaskan seragam SMA-nya dan melemparnya asal. Ia tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Ikut melepas kaus putih polosnya, sehingga ia bertelanjang dada saat ini.

Ali menatap wajahnya yang memar dibagian pelipisnya, ia menunduk, menyalakan kran air pada wastafel yang terdapat di kamar mandinya, lantas mencuci mukanya. Berharap otaknya dapat di refresh kembali setelah kejadian tadi.

Sekali lagi, Ali menatap pantulan dirinya pada cermin. Ali menghela napasnya dengan berat, menumpukkan kedua sikunya pada pinggiran wastafel, dan menyangga wajahnya dengan tangannya.

"Sampai kapan gue harus kayak gini Tuhannnnnn," keluh Ali. Mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

Prilly. Gadis yang baru dikenalnya beberapa bulan ini, namun sanggup untuk menembus bentengnya. Benteng kokoh, yang tidak bisa ditembus oleh wanita manapun. Namun Prilly, dengan mudahnya menembus.

Gadis yang sanggup membuatnya tertawa lepas, lupa akan masalahnya, pelipur laranya, moodnya.

"Lo nafas gue Prilly... tanpa lo gue mati." kata Ali pelan.

Tiba-tiba, nafasnya memburu. Ray. Bajingan yang tidak tahu diri. Perasaan asing menyergapnya, perasaan ketakutan yang luar biasa. Ali menggeram. Ini ancaman. Kembalinya Ray, menandakan hidupnya penuh ancaman. Prilly. Lagi-lagi gadis itu.

Seketika, Ali tersentak. Ini jawaban atas rasa takut yang dimilikinya saat ini. Pria Bajingan tadi telah mengetahui di mana letak rumah Prilly. Tangannya mengepal. Ali menegakkan tubuhnya, tatapannya nyalang. Prilly dalam bahaya. Entah ini hanya firasat, atau ia yang terlalu berlebihan.

"Brengsek!" Ali memaki Ray, tangannya meninju dinding kamar mandinya. Tidak peduli pada rasa nyeri yang lagi-lagi dirasakannya.

Bagi Ali, rasa nyeri adalah temannya.

Ali buru-buru memakai T-Shirtnya, dan mengganti celana abu-abunya dengan celana jeans, menyambar jaket yang tergantung di capstock belakang pintu, dan keluar kamar dengan cepat.

Tidak bisa menahannya lebih lama. Perasaan takutnya semakin besar. Yang dibutuhkannya hanya pergi ke rumah Prilly, dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja dengan sistem pengamanan yang aman.

"Lo mau ke mana?" tanya Mila yang baru saja dari dapur dengan membawa satu gelas berisikan jus jeruk.

"Ke rumah Prilly bentar," jawab Ali. Tangannya menggerayangi tempat kunci. Mencari-cari kunci mobilnya.

"Di atas meja makan," sahut Mila seakan mengerti apa yang sedang dicari Ali. Ali segera menuju meja makan. Dengan tidak sabar, Ali mengambil kunci mobil dan berlari.

"Gue pergi dulu. Kunci pintu, jangan bukain kalo bukan gue apa Mama. Bilang sama satpam, jangan kasih masuk orang yang ga dikenal." Ali mengecup kening Mila sebelum akhirnya berlari kecil menuju garasi.

Mila mendengus pelan. "Ya gini punya kakak overprotektif." gerutunya pelan, namun tetap melaksanakan titah Ali.

Ali mencengkram erat stir mobilnya. Perasaannya kacau, kalut. Pikirannya tertuju pada gadis itu. Keselamatan Prilly, adalah prioritasnya. Tidak akan membiarkan siapa pun laki-laki di luar sana menyentuhnya bahkan meletakkan seujung kuku jari pun. Tidak akan pernah.

Kamu dan AkuWhere stories live. Discover now