The Definition of Love

26.6K 2K 18
                                    

Udara yang bertambah dingin, menuntut Prilly mengeratkan genggaman tangan mereka, memeluk lengan Ali menggunakan tangan kirinya, selagi tangan kanannya digenggam dengan hangat oleh Ali.

Ali betul-betul menikmati posisinya malam ini, tidak risih ataupun merasa terganggu dengan kepala Prilly yang ada di bahu kirinya. Nyaman.

"Lo nggak ada niatan buat beli handphone baru, Li?" tanya Prilly, memecah keheningan yang tiba-tiba saja menyelimutinya.

Ali menggeleng pelan. "Gue nggak terlalu butuh handphone. Yang jelek buat ganjel pintu juga gue pake. Karena gue cuma butuh buat komunikasi aja," jawab Ali.

Prilly benar tdak tahu menahu jalan pikiran pemuda yang duduk disebelahnya ini. Ia terlahir sebagai Putera Mahkota Pratama, anak keturunan Giorgino Pratama, seorang konglomerat nomor satu di dunia bisnis, hidupnya terlalu sederhana untuk takaran anak pebisnis kondang.

"Kenapa sih Li, lo nggak akur aja sama Papa lo?" tanya Prilly penasaran, gadis itu mendongakkan kepalanya. Sadar efek yang ditimbulkan dari pertanyaannya membuat Ali mengatupkan rahangnya.

"Gue nggak akan pernah bisa akur sama si brengsek itu, Prill. Nggak akan pernah bisa," kata Ali tegas.

"Atas dasar apa elo ngomong nggak akan pernah bisa? Lo kan belum nyoba," kilah Prilly. Ali menatap Prilly tajam, gadis itu dapat merasakannya. Kilatan-kilatan emosi Ali, terpancar jelas dari kedua mata Ali.

"Setelah semua hal yang dilakuin si Tua Bangka itu ke Mama gue? Nggak akan pernah." desis Ali. Prilly menghela napas pelan.

"Gue cuma nggak mau aja lo nyesel nanti-nantinya Li..." gumam Prilly.

"Apa?" tanya Ali yang samar-samar mendengar gumaman Prilly, namun masih tidak jelas. Prilly menggeleng dengan cepat. "Bukan apa-apa,"

Ali kembali diam, tanpa sengaja ia kembali teringat awal pertemuannya dengan gadis ini. Pandangan pertama, insiden yang membahayakannya, hingga pada malam ini. Semuanya berjalan dengan mulus, mengalir apa adanya, tanpa ada unsur terpaksa. Dan Ali senang.

Tiba-tiba, ia teringat akan keinginan Prilly yang sangat ingin terwujudkan saat ulang tahun yang ke tujuh belas. Ia ingin mengabulkannya, tapi Ali sendiri tidak tahu kapan pastinya gadis itu resmi menginjak angka ke tujuh belas.

"Ulang tahun lo kapan?" tanya Ali. "Satu minggu lagi," jawabnya sambil memainkan jari-jari Ali yang besar jika dibandingkan dengan miliknya.

Ali sedikit terkejut. Satu minggu lagi. Keinginan gadis itu bisa saja terpenuhi, tapi... statusnya yang hanya teman. Apa bisa?

"Emang kenapa? Lo mau ngasih gue kado ya? apa kejutan?" tanya Prilly cablak. Ali terkekeh pelan, kemudian menyentil pelan kening yang pernah dikecupnya itu.

"Pede bures lo jadi orang," ledek Ali. Prilly merengut. "Yeee abisnya elo nanya kapan ulang taun gue. Biasanya sih orang-orang kalo nanyain kapan ulang tahun mau dikasih kado apa kejutan," celoteh Prilly.

"Asumsi dari mana tuh?" seloroh Ali begitu Prilly selesai berorasi. Prilly menatap Ali sebal.

"Lo ngeselin banget sih jadi cowookkkk," kata Prilly yang sebal dengan tingkah Ali yang menurutnya annoying itu.

"Loh gue bener kan? Asumsi dari mana tuh? Adanya orang nanya kapan ulang tahun, ya mereka mau makan gratis lah," kata Ali santai. Prilly memicingkan matanya kearah Ali.

"Terus intnya lo minta traktiran gue?" kata Prilly sedikit sensi. Ali menyeringai lebar.

"Ck. Ah payah udah gue kode gitu masih nggak mempan!" Celetuk Ali kemudian tertawa melihat air muka Prilly yang seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup saat ini juga.

Kamu dan AkuWhere stories live. Discover now