BAB 4

193 10 0
                                    

“Sial!”

Gerald melempar HP yang baru saja digunakan untuk menghubungi seseorang keatas kasur yang terlihat sangat berantakan. Tidak kalah berantakannya dengan penampilan sang pemilik.

Laki-laki itu lalu menjambak rambutnya yang kusut. Dia sudah sangat kesal mengetahui Aiza tidak mencoba menghubunginya  dan sekarang kekesalannya semakin bertambah saat niat baiknya menghubungi Aiza untuk memeinta maaf dengan mengesampingkan egonya ternyata sia-sia.

Gerald lalu melemparkan dirinya ke kasur, dia berniat untuk tidur dan berharap kekesalannya akan menghilang saat bangun nanti. Laki-laki itu sudah memejamkan matanya untuk tidur, tapi lagi-lagi tidak bisa. 

Sudah seminggu ini jadwal tidurnya tidak teratur. Ia hanya akan tidur selama beberapa jam saja, paling lama hanya tiga jam sehari itu pun harus dibantu dengan pil tidur. 

setiap kali ia merebahkan dirinya mencoba untuk tidur, bayangan wajah Aiza Malam itu selalu muncul dipikirannya. Jelas sekali raut kekecewaan terpancar dari wajah Aiza. Ekspresi yang jarang sekali Gerald lihat di wajah itu, apalagi ditunjukan untuk dirinya

Sejenak Laki-laki itu berpikir, apa Aiza juga merasakan apa yang dirasakannya? Ia merasa sangat kacau harus berpisah dari Aiza, hal yang bahkan tidak ia rasakan saat Elena jauh darinya, atau saat kekasihnya jauh darinya.

Tapi kemudian pemikiran itu lenyap, saat ia mengingat Aiza yang pergi ke mall bersama teman kantornya dua hari yang lalu saat dirinya keluar dari hotel tempatnya menginap. DIlihatnya Aiza terlihat biasa-biasa saja meskipun raut wajahnya terlihat kesal, tapi Aiza memang sangat benci pergi ke mall. Jadi, raut seperti itu sudah biasa ia lihat saat Aiza dipaksa untuk pergi kesana oleh adiknya. Dan bisa Gerald tebak, kalau teman satu-satunya yang gadis itu miliki dikantor memaksanya untuk pergi kesana.

Sudahlah! Gerald tidak mau memikirkannya lagi ,yang dia inginkan sekarang adalah tidur. Mungkin besok dia akan kembali dan menyudahi semua drama yang dia ciptakan ini. Percuma saja, bahkan Aiza tidak terpengaruh sedikitpun.

Gerald baru saja beranjak dari kasurnya untuk mengabil pil tidur yang ia simpan di meja nakas saat ia mendengar suara pintu apartemennya yang berhasil dibuka.

Laki-laki itu sedikit mengernyitkan keningnya, seingatnya hari ini bukan jadwal untuk membersihkan apartemennya. Jadi, petugas kebersihan yang disewanya tidak mungkin datang kesana. Kekasihnya juga tidak akan mungkin datang karena gadis itu ada di Singapura dan kemungkinannya sangat kecil untuk gadis itu datang.

Dan, seulas senyum terbit diwajah Gerald saat nama Aiza muncul dikepalanya. Dengan terburu-buru dia beranjak dari kasurnya, hampir saja ia jatuh tersandung karpet. Namun, belum sempat tangannya menyentuh kenop pintu, ia  kembali ragu karena kemungkinan Aiza untuk datang ke tempat itu lebih mustahil daripada kekasihnya yang datang dari singapura.

Akhirnya, untuk berjaga-jaga, Gerald meraih tongkat baseball yang selalu ada dikamarnya. bukan karena dia hobi memainkannya --bahkan ia tidak tahu cara bermainnya-- tapi ia hanya menyimpannya untuk berjaga-jaga jika ada seseuatu yang tidak diinginkan.

Perlahan, Gerald menekan  kenop pintu dan membukanya. Dengan langkah seringan kapas ia berjalan keluar kamar.

langkahnya terhenti saat matanya menangkap pergerakan dari arah dapur. Benar saja, ada seseorang dengan hoody menutupi kepalanya sedang membuka lemari es miliknya.

Dari perawakannya, Gerald bisa mengetahui bahwa orang itu adalah laki-laki, tapi dia juga tidak pasti karena orang itu membelakanginya.

Setelah mengatur napasnya, Gerald melangkah pelan mendekati orang itu. Tepat seteleh orang itu membalikan tubuhnya, Gerald mengangkat tongkatnya bersiap untuk memukul. Namun, tepat sesaat sebelum tongkat itu menyentuh kepala orangg itu Gerald menghentikan gerakannya. Ia baru menyadari bahwa orang itu adalah Ali.

MARRIED WITH MY FRIEND Where stories live. Discover now