BAB 3

206 11 0
                                    

BAB 3

“makanan punya lo udah nangis darah tuh lo anggurin mulu dari tadi.” sindir seorang gadis berambut lurus sebahu dengan kacamata kotak bertengger dihidungnya pada rekan makan siangnya yang duduk tepat didepannya. Mereka hanya terhalang oleh bangku panjang khas warung pinggir jalan.

Gadis yang disindir, Aiza mengangkat wajahnya dan manatap Hera yang asik mennyantap bakso dengan kuah yang hampir sama dengan kuah rawon, kontras sekali dengan miliknya yang berwarna merah. 

"Mana ada makanan nangis. Apalagi nangis darah.”

“Tuh! kuah bakso lo warnanya merah.” Tunjuk Hera pada mangkuk Aiza.

“Ini sambel, dodol.” Aiza menyendok kuah bakso yang memag sangat merah itu dan menyuapkannya kedalam mulut, membuat Hera bergidik. Maklum saja, wanita itu sangat benci pedas.

Biasanya, Aiza akan sangat bersemangat saat disuguhkan bakso yang notabenenya adalah makanan pavoritnya. Namun, rasa bakso itu kali ini tidak seenak biasanya. Pikirannya terus berputar pada Gerald yang sudah seminggu ini tidak masuk kerja, tepatnya setelah malam tasyakuran itu. Laki-laki itu beralasan kalau dirinya sakit. Padahal Aiza tahu kalau itu hanya alasan Gerald saja.

Semua orang dibuat panik dengan menghilangnya Gerald, tidak biasanya laki-laki itu menghilang seperti ini. Bahkan hampir setiap hari Ranti menghubunginya sambil menangis  menanyakan keberadaan Gerald. Dan jawaban Aiza selalu sama, ia tidak tahu keberadaan Gerald.

Tiga hari yang lalu Aiza menyuruh Ali untuk pergi ke apatemet Gerald, sebenarnya Ranti dan Bram sudah kesana untuk memeriksanya, tapi Gerald tidak ada disana. Namun, Aiza curiga Gerald sebenanya ada didalam karena itu adalah tempat satu-satuya untuk Gerald menyendiri jika sedang ada masalah. Jadi, ia memberitahu password apatemen itu pada Ali beharap Ali bisa menemukannya. Tapi nihil, Gerald memang tidak pernah datang kesana.

cleaning service yang ditemui Ali juga mengatakan kalau ia tidak bertemu dengan Gerald saat ia membersihkan apartemen itu baik hari itu atau dua hari sebelumnya.

Aiza sendiri masih belum mau menemui atau menghubungi Gerald. Ia masih kesal dengan respon Gerald pada dirinya malam itu, tapi bukan berarti Aiza tidak khawatir dengan Gerald. Ini pertama kalinya Gerald tidak menghubunginya selama itu. Dulu, meskipun Gerald kuliah di Amerika, mereka tidak pernah hilang kontak, hampir setiap hari mereka saling menghubungi meskipun itu hanya sebatas berbalas pesan.

“Kalo lo khawatir mending lo telpon aja.” Sindir Hera sekali lagi.

Terhitung sudah belasan kali kata-kata itu keluar dari mulut Hera. Ia sudah sangat muak melihat Aiza yang kerjanya hanya melamun saja seminggu terakhir ini. Kalau tidak melamun, maka gadis itu akan sibuk melihat kearah HP-nya seperti menghrapkan seseorang menghubungi. 

Aiza yang kesal terus diganggu dengan urakannya melahap baso sebesar kepalan tangannya hanya dengan dua kali gigitan. Tak ayal hal itu membuat Hera menghentikan kunyahannya dan menatap Aiza dengan mulut terbuka penuh bakso.

“Puas lo!” Ujar Aiza dengan makanan yang masih memenuhi mulutnya. “Lagian gue khawarir sama siapa. Gak ada yang gue khawatirin.” Sambung gadis itu bohong.

“Ya sama Pak Gerald lah, sama siapa lagi.” Jawab Hera memutar bola matanya jengah.

 Hera sudah hampir menghabiskan semua makanannya saat dia melihat mangkuk Aiza yang masih saja belum berkurang dari terakhir kali ia menegurnya. Ternyata, teman makan siangnya itu kembali terdiam sembari menatap makanannya tanpa minat. Akhirnya, dengan gemas Hera mengambil mangkuk itu membuat sang pemilik mengangkat wajahnya dan menatap Hera kesal.

“Bakso gue.” Protes gadis itu mengambil kembali mangkuk berisi bakso miliknya.

“Makannya cepetan lo abisin. Gue paling gak suka ada orang yang nyia-yiain makanan enak kayak gini.”

“Gue gak nyia-nyiain. Gue Cuma…” Aiza tidak bisa melanjutkan kata-katnya.

“Cuma apa? Cuma mikirin pak bos?” 

Aiza  hanya terdiam, dia tidak bisa mengelak lagi. Apa yang dikatakan Hera memang benar, dia tidak bisa berhenti memikirkan Gerald. Dia juga tidak bisa fokus dalam segala hal. Bahkan gadis itu tidak sadar malah mengiris jarinya saat membuat sarapan tadi pagi.

“Daripada lo begong gak jelas kayak gini. Mending lo telepon dia deh! Pusing gue liat lo yang kerjaannya ngelamun mulu.” Saran Hera yang kembali menyuapkan kuah bakso terakhirnya.

Untuk sejenak Aiza menatap lawan bicaranya dan merenungkan apa yang dikatakan Hera. Akhirnya, ia lebih mengesampingkan egonya dan mengambil HP-nya yang tergeletak di meja untuk menghubungi Gerald. 

Selama menunggu teleponnya tersambung, Aiza tidak bisa berhenti mengetuk-ngetukan sepatu berhak tingginya ke lantai. Ia juga tidak bisa berhenti menggigiti kuku jarinya memikirkan apa yang akan dia katakana pada Gerald nanti.

Cukup lama gadis itu menunggu hingga sebuah suara terdengar di telinganya, tapi bukan suara Gerald yang didengarnya, melainkan suara operator yang memberitahunya bahwa pemilik telepon diseberang sana  sedang melakukan panggilan.

“Sial!” 

Dengan kesal Aiza meletakan HP-nya dimeja dengan cukup keras. Setengah membanting. Ia sangat kesal sekarang. Susah payah dia menghilangkan egonya dengan lebih dulu menghubungi Gerald, tapi laki-laki itu malah sibuk menghubungi orang lain. kekesalannya juga semakin bertambah menyadari bukan dirinya orang yang pertama kali dihubungi Gerald setelah laki-laki itu tidak bisa dihubungi beberapa hari ini.

 “Kenapa? HP-nya masih gak aktif?” Hera memperhatikan raut wajah Aiza yang tampaknya semakin memburuk.

Aiza tersenyum kearah Hera, bukan senyum ikhlas, tapi senyum dipaksakan yang sarat dengan kekesalan. “HP-nya sibuk.”

Sedetik kemudian,  minuman yang belum sempat tertelan oleh Hera menyembur dari mulutnya. Ia  tidak bisa menahan tawanya.

Sementara itu gadis yang ditertawakan menatap gadis yang menertawakannya dengan mata yang menyipit. Akhirnya, Aiza kembali menyantap makanannya dengan urakan, bahkan gadis itu memesan satu mangkuk lagi untuk melampiaskan kekesalannya.

Bersambung...

MARRIED WITH MY FRIEND Where stories live. Discover now