Kushina menghela napas begitu berat. Begitu sarat akan beban yang ikut dirasakan saat melihat anak satu-satunya yang dimiliki, menjadi remuk karena masalah disebut 'perasaan'.

Untuk terakhir kali, sudah cukup. Kushina tidak ingin Naruto menjadi rusak lebih lama. Naruto harus berhenti. Ia harus menyudahi lilitan yang ada.

"Kau adalah satu-satunya kebahagiaan paling utama dalam hidup Ibu. Ibu tidak ingin kau terus seperti ini. Lepaskan, Naruto. Meski sulit, namun kau harus ingat, jika Hinata sendiri yang menginginkannya. Jangan menyakiti dirimu dengan menjadi orang yang merasa kehilangan sendirian."

"..."

"Sudah cukup Hinata membuatmu hancur terlalu banyak."

Flashback Off

.

.

.

Hinata masih terdiam di tempat. Seruan ucapan Naruto seperti memaku pijakan kakinya agar terus mematri pada tumpuan yang sama tanpa bisa berkutik meski sekejap.

"Perasaanku tidak berubah, Hinata."

Suara tersebut melantun tak begitu keras. Malah setipis tiupan angin yang begitu tenang dan halus, namun menerpa tepat hingga kedalaman palung hati. Ada guncangan hebat yang Hinata rasakan. Seperti cubitan-cubitan yang membuat ia seakan tersengat. Bibir Hinata menjadi tak bisa terbuka sekadar mengumbar balasan.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Aku tahu, ini terdengar sangat tidak pantas, tapi, aku tidak bisa."

Kemudian, pria tersebut kembali terdengar.

"Aku tahu, aku sangat bodoh. Aku menyesali keputusanku untuk menyetujui perpisahan kita." Melambat redup, pandangan mata Naruto menjadi sayu.

Hinata seperti begitu syok mendengar semua perkataannya. Tentu saja. Tak mungkin senyuman yang akan ia tampilkan dalam keadaan ini, bukan?

"Aku salah karena sudah membuatmu merasa terluka."

"..."

"Aku belum bisa merelakanmu."

Sekali lagi, kebisuan hadir. Naruto menjadi tidak mampu merangkai kata lebih jauh karena tak ada respon dari sang wanita. Serupa ia memberi telapak tangan, namun tak menjumpai balasan uluran.

Yang ada, Hinata menunduk. Hanya puncak kepala yang dapat terlihat, sebab helaian rambut sudah menutupi sebagian wajahnya.

"Hinata--"

"Jangan."

Ucapan Naruto terhenti ketika pada akhirnya -- Hinata dapat berkata.

"Jangan lakukan."

Naruto menelan ludah begitu pahit.

"Tolong, jangan menekanku dengan ungkapan seperti ini."

Mungkin, Naruto memang sudah dipenuhi oleh segala penyesalan yang dalam, tetapi, sangat sulit bagi Hinata untuk menapik segala trauma yang ia rasakan. Kenangan lama selalu dan selalu datang. Mengambang ingatannya untuk mengingati kembali semua kalimat penuh keyakinan yang Naruto berikan.

Bukan hanya Naruto yang takut saat ini. Hinata jauh lebih takut.

"Semua sudah terlanjur."

Setelah itu, Hinata berlalu. Jangan memaksanya untuk dapat menerima dengan mudah. Karena menjadi baik-baik saja tidak semudah mengucapkan 'YA'.

Naruto meringis dalam kesendirian.

.

.

.

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now