Memang Harus Datu

176 32 10
                                    

Yang Umi tanamkan padaku; tidak ada istilah pelangi setelah badai di kehidupan orang seperti kami, yang ada setelah badai maka harus bersiap untuk badai berikutnya. Bundski juga mengatakan hal serupa setelah mendengar sedikit cerita tentang perjalananku. Nggak usah terlalu banyak seneng ketika lo dapat kebahagiaan, kebanyakan bahagia itu adalah magnet kesedihan yang berikutnya.

Bukan sekadar keluarga dan teman, Umi dan Sulis adalah master di kehidupanku. Tuhan membuat pertemuan kami begitu cantik. Mereka datang sangat tepat ketika aku berpikir kalau hidupku adalah sampah. Tidak berguna dan terbuang.

Kamal, kurang lebih sama. Datang ketika aku mengharamkan diri merasakan rasa memiliki pasangan. Hal yang sering terlintas tapi tidak pernah berani menggapainya. Apa yang akan terjadi pada kami? Berapa lama akan bertahan? Tujuan. Penerimaan.

Melihat orang lain berpasang-pasangan sepertinya sangat indah dan mudah. Tapi untukku, rasanya akan sangat rumit bahkan sebelum dimulai. Membayangkannya saja sudah pasti berantakan. Hebatnya sejauh ini kami bisa, aku bisa. Ternyata aku bisa.

Takdir begitu sakti, bukan?

Yang membuatku datang ke rumah Umi sekarang tidak hanya kangen. Rasanya ingin melakukan napak tilas, merasakan kembali rasa senangku dulu saat keluarga Umi menerimaku dan menggabungkannya dengan rasa senangku akan kehadiran dan penerimaan Kamal.

Hari ini warung Umi tidak buka, Abah juga tidak membuka kios kelapanya di pasar. Katanya ada sesuatu yang membuat mereka libur dan akan memberitahuku.

Kami belum kumpul karena masih pagi. Umi di depan, menjemur sisa nasi semalam. Abah mencuci sangkar burung perkututnya. Sekar tidak keluar kamar. Jaka, anak si bontot belum bangun. Aku merapikan dapur Umi yang memang selalu rapi. Hanya kubersihkan sedikit.

"Dih, tumben pulang!"

Langkah kaki Jaka mendekat, dia meraba keningku.

"Nggak panas, lu nggak sakit. Berarti lu pulang ada masalah laen? Lu butuh uang ya? Kebetulan gue baru dapet gaji kemarin, mau gue pinjemin?"

Sontak saja lap di kananku memecut kepalanya. Dia ngeles tapi tetap kena.

"Ngaco!"

"Lah terus?"

"Gaji dari mana?" Setahuku dia belum kerja.

"Ini nih akibat lu jarang pulang, ga tau kan orang yang lu kira suhunya pemalas ini bisa cari duit."

Jaka jago tidur. Keahliannya hanya tidur-makan, makan-tidur. Setiap pagi ada temannya yang setia membangunkannya untuk berangkat sekolah bersama. Setiap hari dia harus dibangunkan dengan proses yang lama dan berbelit. Hebatnya si temannya ini selalu datang lagi dan lagi selama masa 12 tahun sekolah dari SD sampai SMK. Sabar menghadapi Jaka. Sangat cocok disematkan suhunya pemalas.

"Kenapa nggak kasih Umi?"
"Umi bilang belum butuh."
"Kak Sekar."
"Kak Sekar udah ada yang modalin, bulan depan dia nikah. Nggak tau kan lo?" Hmm, bocoran dari Jaka. Mungkin ini yang Umi maksud.

"Abah?"
"Diiiih, Abah kepala pencari nafkah, belum mau dinafkahi balik ama gua."

Aku duduk di kursi plastik usang yang kami pakai makan di dapur. Meladeni Jaka.

"Memang kerja dimana? Sejak kapan? Gajimu berapa? Dua juta, ada?"

"Deeeeng, ngelunjak!" Dia malah sewot. "Gua part time di bengkel tempat praktik dulu, di suruh tetap datang setelah sekolah dan kalau nggak ada tugas. Ini udah gaji ke dua, gua di kasih tiga ratus bulan pertama, terus lima ratus maren, masih angeeet banget nih."

Dia mengeluarkan dompet, menunjukkannya padaku dengan wajah bangga.

"Masih lengkap, lapan ratus."

"Nggak kamu pakai-pakai?"

"Itu dia, nggak ngerti nih uang kok nggak ada gunanya, nggak berkah dah. Makan, gua makan di rumah, bawa bekal, di kantin adaaa aja yang beliin gue makan, di bengkel di kasih konsumsi pula, gua tawarin orang rumah kagak ada yang mau, mau gua pakai nongkrong temen gua cuma Jibon, sirkel kagak banyak."

Jibon si teman sabar yang kumaksud. Dan sepertinya apa yang Jaka alami adalah hasil dari tabur tuai Umi padaku. Umi menyambutku dengan sangat baik dan Jaka menuai hasilnya di luar sana. Tidak mungkin aku makan hasil itu lagi.

"Simpan deh, manatahu kapan hari kamu butuh."

"Gua titip sama lu yah, gue suka lupa naruh-naruh dompet. Manatahu sama lu duit ini ada guna, lu pakai aja."

"Simpan sama Umi!" Ujarku tegas tak mau di bantah. Agak lain si bontot ini. Jaka diam saja saat aku bangkit. Niatku mencari Sekar untuk bertanya kabar yang kudengar dari Jaka, tapi yang telingaku tangkap dari luar;

"OOOOOH JADI KAMU YANG PECAT ANAK SAYA? KAMU ORANGNYA? BERANI YA KAMU KE SINI, NGAPAIN KAMU?"

Suara Umi menggelegar dari luar.

***

Takut. Ini pertama kalinya aku ketakutan menghadapi Umi. Bertemu pertama dulu tidak sedikit pun ada rasa takutku padanya karena dorongan rasa lapar ingin meminta makanan dari Umi. Hingga dewasa begini aku tidak pernah takut berhadapan dengan Umi jika dimarah sekalipun karena aku salah. Mau Umi mengamuk seperti apa memarahiku, aku tidak takut. Tapi kalau sekarang, aku benar-benar ketakutan.

Kedatangan Kamal sangat-sangat di luar perkiraan BMKG, kalau kata anak sekarang. Dan memang sangat di luar dugaanku. Bisa dibilang juga kedatangannya ini membuatku rumit. Menerima aku punya keluarga saja belum selesai, pekerjaan hilang---meski kerjaan sampingan banyak---bagi Umi kerja di kantor sedikit membuatnya bisa membanggakanku di depan orang lain. Apalagi kalau aku datang menemuinya di pasar dengan baju rapi dan kartu pengenal kantor melingkar di leher. Umi senang sekali. Belum masalah-masalah lain yang mau kami bicarakan. Pokoknya hari ini ribet dan Kamal datang mendadak jadilah rumit.

Umi melihat Kamal dengan tatapan samping yang kejam. Aku sampai tidak enak hati melihat Kamal nersikap kaku, kikuk, dan takut? Tidak yakin, tapi Kamal juga sepertinya takut. Abah sedikit lebih menenangkan dengan wajah teduhnya.

"Mau minum apa, Nak?"

"Iiiiiiih," suara Umi sewot melengking, "ndak perlu nawar-nawar minum, Bah!"

"Heeeh, ini tamu lho. Tamu anakmu."

"Ini orang yang pecat anakku loh, Baaaah!" Nadanya masih emosi.

"Ck, ya sudah, ini teh Abah di minum saja, Abah belum minum juga. Kamu udah pucat begitu, nanti malah tremor."

"Jangan, Pak. Nggak apa-apa, saya ga minum."

"Lllloh, suaramu sampai gemetar begitu, minum-minum." Abah maksa, Umi berdecak. Kamal melirikku dan memberi kode agar dia minum. Senyum Kamal kaku melirik Abah.

"Langsung saja, ngapain kamu cari-cari anak saya? Kamu sudah pecat dia kan, kamu atasannya kan? Kamu pasti nyesal sudah pecat anak saya kan? Hiiiiih, ga ada ya, ga akan saya kasih anak saya balik kerja di tempat kamu."

"Umi...." aku memelas mulas.

"Umi satu-satu dong. Panjang bener ngomelin anak orang. Tanya dulu ada keperluan apa dia sampai ke sini, mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikan Datu, iya kan?"

Aku bergeming mengusap dahi. Jaka tiba-tiba duduk di samping Kamal.

"Anak gue pinter semua, Jaka nih belum tamat aja udah di lamar sama bos bengkel, ga perlu capek-capek nyari kerja, Datu dia apa aja bisa, lu suruh pecahin batu dia pasti bisa, dia anak gue yang paling serba bisa, Sekar ini biarpun ayu kemayu seperti tuan putri Konoha; ngurus rumah, masak, dia pinter juga. Anak gue jago semua, lu mau apa?"

"Umiii... dia ini."

"Saya memang bukan Bos Datu lagi, Um..."

"Hei, jangan ikut-ikutan panggil Umi, panggil Nyonya."

"Nyah, saya bukan atasan Datu lagi, tapi..."

"Tapi apa?!" Umi masih sewot. Aku tertekaaaaan.

"Saya pacarnya anak Nyonya Umi."






Jjjjjjiakh, akhirnya. Ye kaaaaaan. Maap beribu maap. Aku cinta kalian. Makasih udah sabar.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang