Hari yang Ribut pt. 2

151 30 8
                                    

Aku mensilakan Kamal ke kontrakan.

Dia sudah menjelaskan alasannya datang sepagi ini. Siro memintanya mengambil dokumen yang aku bawa. Kata Kamal; Siro tidak bisa ikut untuk menyelesaikan penayangan vlog terbarunya.

"Di teras ga pa-pa, ya? Saya ga punya ruang tamu." Kataku tanpa segan. Dia tidak menjawab. "Tunggu di sini."

Aku membiarkan Kamal di luar untuk mengambil tikar plastik di dalam. Kami akan lesehan di teras. Segesit mungkin aku kembali lagi ke dalam mengambil dokumen agar urusan ini segera selesai. Demi Tuhan, aku sudah berjanji pada Mba Key bolu bisa di ambil jam sebelas. Kamal harus segera pergi agar aku bisa bekerja.

"Ini. Ini dokumen tiga tahun lalu, awal saya masuk. Lihat angka penjualannya?" Aku langsung ke inti. "Ini dokumen yang di tanda tangani pimpinan dan di pakai untuk laporan penjualan." Kamal mengangguk. "Tapi ini dokumen penjualan yang saya simpan, ini yang saya buat sendiri untuk dokumentasi iseng-iseng, lihat angkanya... yang berhasil kami jual di lapangan saja sebanyak ini, belum termasuk penjualan di agen, supermarket. Kalau penjualan oleh SPG di lapangan dicantumkan di laporan, angkanya harusnya lebih besar, di sana ga ada."

Kamal membaca lembaran yang aku berikan.

"Ngomongnya pelan-pelan, saya ga lagi buru-buru kok." Katanya tiba-tiba.

Aku tercenung.

"Tadi kata Kenya serabi itu enak."

Otakku ngelag. "Hah?" Kenapa tiba-tiba bahas serabi?

"Oh, iya. Kenapa emang?" Berusaha bernada normal.

"Saya tamu, lho, kamu ga ada niat suguhin apa gitu?" Ngomongnya masih sambil membaca dokumen.

Otakku terguncang. Maunya apa nih orang? Numpang makan? Numpang sarapan, gitu?

Pemegang rekor terbanyak yang nongkrong ke kontrakanku adalah Adam, Bundski, dan Dona. Judulnya saja nongki, statusnya mereka bukan tamu. Kalau mereka datang sudah pasti langsung ngeloyor, bikin minum sendiri, cari makan sendiri. Dan sekarang Kamal memegang rekor sebagai tamu asing pertama yang datang mengunjungiku.

Aku tahu adab bertamu, tapi kurang ahli dalam hal adab tuan rumah. Minta suguhan, ya, Bapak Kamal? Mendadak aku tidak tahu apa yang pertama kali harus dilakukan.

"Air putih, mau?" Biar cepat, kata otakku. Kalau nawarin kopi atau teh, harus rajang air dulu.

"Dan serabi." Imbuhnya cepat.

Buset.

Jadi beneran ke sini numpang sarapan. Tampang perlente ternyata tidak menjamin orang tidak punya sisi minus. Kamal pasti lebih dari mampu untuk sekadar sarapan serabi. Positif saja, mungkin dia sedang dalam mode ngirit. Sekali lagi aku ke dalam melakukan hal yang harus di lakukan tuan rumah. Walau tidak rela serabi itu harus kubagi dua.

Kembali dengan nampan plastik, aku hampir menjatuhkan apa yang aku pegang. Yang tadinya satu orang sekarang jadi dua. Tanganku akan gemetar karena jatung yang di kagetkan. Mati-matian aku menguasai diri agar tetap tampak biasa.

Si orang baru datang bicara pada Kamal sambil berdiri.

"Teman kantor." Jawab Kamal padanya.

"Teman kantor datang di hari libur," nadanya jelas ragu. "Kalau sudah selesai anda bisa pergi, saya ada perlu sama Datu."

"Enggak." Aku menyelanya cepat. "Dia tamu saya, kamu ga ada hak nyuruh-nyuruh dia pergi. Dan lagi kita ga ada hal yang harus di omongkan."

"Datu, plis, aku sampai ke sini artinya ini penting." Nadanya memelas.

Oke, aku ralat. Kamal bukan orang asing pertama yang bertamu ke kontrakan.

***

Aku mengutip kalimat ini dari sebuah wawancara Denzel Washington;

Ibu adalah cinta pertama anak laki-lakinya. Anak laki-laki, terutama anak laki-laki pertama adalah cinta sejati terakhir ibunya.

Aku terlalu yakin kalau Raden Canggih, laki-laki yang mengikutiku ke dapur sekarang memiliki semua syarat dalam kutipan itu. Dia anak laki-laki pertama, mungkin pemegang kasta tertinggi di keluarganya. Tetap saja setiap anak laki-laki adalah milik ibunya hingga akhir hayat. Jika tidak ada restu ibu, sebuah hubungan akan menjadi hukuman.

Ibunya mungkin salah dengan melabrakku karena tidak menyukaiku, tetap saja aku tidak setega itu bersikap egois demi menyenangkan diri sendiri atau mengangkat derajatku dengan mengiyakan Canggih dari awal dia menyatakan perasaannya.

Keningratan mereka selalu terlihat setiap mengunjungi pasar. Ibu Canggih selalu datang dengan tampilan jauh berbeda dari ibu-ibu lain. Jika Canggih ikut menemaninya belanja, pengawal yang biasanya ikut tidak akan kelihatan.

"Apa benar-benar ga bisa?"

Kalimat pembukanya saja sudah berat. Syaraf dan uratku di paksa bekerja untuk mulai meladeni lanjutan dari pembicaraan kami ini yang selalu dia lakukan---menanyakan hal yang sama---mungkin sudah ratusan kali.

"Jawabanku ga akan berubah, Canggih."

"Plis Datu, sekali saja kamu mau berjuang sama aku, sebulan deh kita coba."

Aku menarik napas yang sangat dalam di sumpeknya dapur ini. Dia, bahkan Kamal yang di teras mungkin bisa mendengar hembusannya.

"Tahu, gak? Kamu harusnya bersyukur dari awal aku nolak kamu untuk satu hubungan yang kita sudah pasti tahu akhirnya. Aku jadi ga buang-buang waktu kamu."

Modelan ibunya Canggih sebelas dua belas ala ibu-ibu drama. Jodohin anak kalau umur anak kelewat matang dan belum punya pacar dan si wanita harus jelas bibit, bebet, bobot, jumlah kekayaan, jumlah titel, sampai warna ginjalnya. Anaknya baru kirim salam saja, si perempuan kumuh saja langsung di samperin, di marah, di omelin di depan umum, di permalukan. Apajadinya kalau anaknya aku pacari?

Iya. Wanita yang ingin aku beli mulutnya adalah ibu dari pria ini. Canggih mungkin sudah di jodohkan.

"Aku mau buang-buang waktuku sama kamu."

"Canggih, dengar!" Moodku keras. Kilatan bayangan kejadian di pasar dulu terlintas. Suara wanita itu rasanya menendang telingaku. Seperti terjadi saat ini karena suara Canggih mirip ibunya.

"Jawabanku akan tetap sama. Aku ga mau memulai perjuangan apa pun sama kamu. Kamu cukup tahu cerita hidupku. Berjuang supaya orang suka sama kita itu gak enak. Mbak Marini, mbak Sekar adalah contoh kecil yang aku perjuangkan hatinya, biar mereka nerima aku di keluarga mereka. Ga enak Canggih berjuang buat dapetin hati manusia yang ga suka sama kita. Sekarang kamu mau ajak aku berjuang buat dapetin restu keluarga kamu? Jawabanku enggak."

Matanya masih memelas. Aku tidak akan runtuh karena itu.

"Bukannya hasil dari perjuangan kamu selalu berakhir manis? Mbak Marini, Sekar sekarang suka sama kamu, apa susahnya..."

"Mereka cuma satu orang dari empat anggota yang harus aku menangkan hatinya, sekalipun ga berhasil ga akan ngaruh ke kehidupan aku berikutnya. Sekarang aku sama kamu, kita jalin hubungan, satu kompi keluarga kamu ga setuju. Terus kita maksa, jalanin berdua, nikah, bahagia. Tapi di kamarnya ibu kamu nangisin kamu. Gimana mungkin kamu bisa menciptakan bahagia sesungguhnya dengan menghancurkan hati yang lain? Apalagi ini orang tua kamu."

"Apa kita saja ga cukup?"

"Tidak."

Dia pernah menyarankan kami nikah diam-diam dan berspekulasi ibunya akan luluh setelah kami beri cucu. Membayangkannya saja aku geli. Lucu.

"Kamu terus bilang enggak sama aku, tapi kamu bawa cowok lain ke rumah."

"Ini masalah kerjaan, lagian aku ga ada kewajiban jelasin apa-apa sama kamu."

Canggih berlutut. Aku mundur selangkah.

"Give us try, Datu. Kita bisa ke Mami bareng-bareng, atau kamu ikut aku setiap acara keluarga, lama-lama Mami pasti luluh."

"Sinting! Pulang kamu, aku banyak kerjaan!"

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang