Terlalu Pede

168 31 1
                                    

Nekat juga perlu pertimbangan yang matang dan kompleks. Aku harus mengingat itu sebelum nekat. Tidak terbayang wajah songongku saat menjawab "bisa" di depan Pak Pri. Nyatanya ke-sok-anku itu kini menjadi bumerang. Andai bisa kembali ke puluhan menit sebelumnya, aku ingin meminta Pak Pri agar menempatkanku di bagian OB saja daripada nyasar di arsip.

Lima menit setelah istirahat, masih di meja kerja, aku masih membaca beberapa artikel tentang kearsipan. Dan ternyata tidak seenteng itu. Yah, meski dulu di tempat latihan kerja pernah di bahas sedikit, ternyata aplikasi ilmu arsip akan sangat mengerikan di tempat kerja sebenarnya.

Ini baru materi yang aku cari di internet, belum sampai aku meninjau ruangan baruku. Aku juga malah hampir lupa letak ruang arsip di gedung ini. Kalau tidak salah ingat di lantai dua di akhir sebuah lorong. Kecil dan sempit. Rasa ingin bergindik mengingatnya sebelum akhirnya sebuah tangan menepukku.

"Ayo ke kantin!"

"Jan ko melamun-melamun sendiri, Datu! Nanti kita cari akar masalah sampai ko di pindah. Kalo ketemu ku racun akar itu dan ko duduk kembali di sini."

Dua wanita tangguh di depanku bicara bergantian. Sulis dan Lesni.

Entah kepindahanku petaka atau berkah, semakin sedikit lagi masaku untuk duduk di kursiku yang sekarang, tidak dipungkiri aku makin gelisah akan tempat baru yang akan kuhuni.

"Nanti gue temani ke ruang arsip," Sulis seolah membaca pikiranku, "sekarang isi perut dulu biar lo kuat hadapi kebusukan teman sekantor."

***

Seberapa tangguh kita akan kerasnya dunia?

Pernah baca kalau janin-janin yang meninggal ketika keguguran itu bisa jadi karena ketika diperlihatkan oleh Tuhan perjalanan hidupnya selama di dunia dia tidak sanggup dan memilih tidak lahir. Entah itu terjadi di bulan ke berapa selama janin berada di dunia rahim. Barangkali itu yang menyebabkan para calon orang tua mengadakan selamatan di bulan tertentu saat kehamilan. Doa untuk mendukung si janin.

Apa orang tuaku juga melakukannya?

Selamatan itu. Spontan otakku menanyakan pada diriku yang aku tidak tahu jawabannya. Tidak ada yang bisa kutanya pula.

Hingga aku berada di sini sekarang. Bukan lagi lahir, sudah basah kunyup babak belur berkecimpung di perduniaan ini. Harusnya levelku bukan lagi tentang "yuk bisa yuk". Aku pasti sudah menjawab  begini saat ditanya kesanggupanku dulu, "Tuhan, aku bisa. Ini doang mah gampang. Gas."

Terbayang wajah songongku di depan Tuhan saat itu.

Sekali lagi aku menarik dan membuang napas, mengikuti Sulis di depanku.

"Woi, lama amat!"

Sulis menyadari ketertinggalanku setelah lepas dari ponsel. Aku mengejarnya.

"Ruang arsip sekarang dimana, sih? Perasaan dulu ga di sini."

"Udah pindah, Neng. Dulu kan masih di lorong sempit itu. Noh, sekarang yang dua pintu," terang Sulis sambil menunjuk dagu.

"Buruan!" Sulis menarik tanganku.

Kami mencuri waktu jam kerja demi melihat ruangan baruku.

Dua langkah kemudian tangan Sulis menyentuh pegangan pintu dan kami terkejut bersama saat pintu tidak bisa di buka.

"Kok di kunci?"

Sulis menggerakkan kembali pegangan pintu beberapa kali dan hasilnya sama.

Serempak kami melihat kiri kanan mencari orang yang bisa di tanya. Sulis yang lebih tenar di kantor bergerak ke ruang sebelah mencari informasi. Dia kembali tiga menit setelahnya.

"Kayaknya kunci ruangan di bawa partner lo, lo bisa balik lagi nanti deket-deket jam pulang, sekalian bawa barang, gimana?"

Aku langsung mengangguk.

***

Terbiasa tidak punya apa-apa sejak lahir membuatku memiliki kebiasaan dengan tidak mau repot memiliki banyak barang dimanapun kakiku berada. Termasuk di kantor.

Tidak sampai sekotak, barang bawaan yang harus aku bawa ke ruangan baru cukup se-paper bag ukuran sedang. Berisi alat tulis dan beberapa miniatur tokoh Disney.

Sialnya aku tetap kesusahan membawa barang ringan di tanganku itu sekarang. Apes berikutnya orang yang membawa kunci ruang arsip katanya tidak kembali ke kantor. Berakibat perjalananku ke lobi semakin panjang karena mengira bisa melihat meja baru, manalagi kantor sudah sepi. Dengan kaki pincang aku berjalan sendiri.

"Bu Datu!" Aku menoleh sedikit kaget, dan menemukan Saopi berjalan mendekatiku. "Kakinya kenapa?"

"Kejatuhan staples tembak." Jawabku seadanya.

Beratnya setengah kilo lebih dan sebagian besar komponennya terbuat dari besi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada punggung kaki saat kejatuhan benda itu. Nyerinya masih bisa kurasakan.

"Walah," Saopi menggaruk bagian belakang kepalanya. "Itu udah bengkak, Bu."

"Saopi jangan panggil Bu, ya, bikin nyerinya nambah dari telinga." Balasku sedikit bergurau. "Gap umur kita kayaknya ga jauh."

Sepuluh langkah dari tempat kami berdiri ada kursi yang sengaja di sediakan di lobi. Sedekat itu, tapi rasanya aku harus menangis untuk sampai di sana.

"Saya bantu bawa tasnya, ya. Mba Datu pulang naik apa?"

Aku mencoba langkah kecil-kecil.

"Biasa pakai bus."
"Wah, susah ini."

Aku tiba di kursi, memeriksa bengkak itu dan ternyata benar. Duduk tidak membantu mengurangi sakit yang aku rasakan.

Tanpa alasan jelas aku terus merasa gelisah saat dekat jam pulang. Hingga saat merapikan beberapa lembar pekerjaan aku menyenggol staples tembak yang memang berada di pinggir meja.

Lingkungan baru selalu membuatku tidak nyaman. Meski sekadar pindah ruangan, ada saja rasa takut yang mendekapku.

"Pak Kamal!"

Suara Saopi membuyarkan distraksiku. Aku kelimpungan mencari nama yang Saopi sebut.

"Kenapa, Saopi?"

Dia memakai pakaian yang jarang kulihat dipakai penghuni lantai 2 dan 3 gedung. Dari tampilannya bisa kupastikan dia penghuni lantai 4 atau 5.

"Eh, ga perlu!" Teriakku begitu saja setelah sadar pada tujuan Saopi, "saya bisa pulang sendiri."

Keamanan muda ini ternyata tanggap, penuh inisiatif,

"Wah, ngenyel. Gimana mau sampai rumah kalau Mba Datu dari sana sampai situ kakinya kayak di tahan batu."

dan berjiwa emak-emak.

"Memang kakinya kenapa?"
"Kejatuhan staples tembak, Pak." Serobot Saopi.

Aku duduk diam di kursi seperti anak yang menunggu orangtuanya bergosip dengan tetangga.

"Itu sudah bengkak banget, Pak, kasiham Mba Datu kalau pulang sendiri, dia biasanya naik bus."

"Ya sudah, saya antar."

"Tapi..."

"Wes, jangan sok kuat Mba!"

Dear Saopi, anda luar biasa.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Kde žijí příběhy. Začni objevovat