Tell Me Ur Number

163 29 2
                                    

Bakti

Aku harus menarik napas cukup dalam sebelum membahas anak ini. Dia... bisa dibilang sama sepertiku, anak yatim piatu. Walau sebenarnya aku tidak tahu orang tuaku masih hidup atau tidak, anggap saja begitu.

Bedanya, Bakti bisa menikmati peran orang tua hingga berumur 7 tahun. Di hari kami bertemu itu, baru genap dua bulan dia resmi yatim. Beda-beda kami yang lain tentu masih banyak tanpa Pak Faisal ceritakan. Dari perlakuan kakeknya saja yang begitu berusaha memahami Bakti dan membuatnya nyaman, aku bisa tahu Bakti mendapat seluruh kasih sayang dunia.

Selama perjalanan kembali kepalaku setengahnya terisi akan cerita Pak Faisal, hingga aku sadar aku harus melakukan sesuatu.

"Pak, bisa minta tolong saya diturunin di gerai setor tunai dekat kantor saja? Saya ada perlu."

Kemarin Dona memberiku kejutan, angpao dari hasil menyanyi Wulan Merindu. Cukup kaget juga padahal hanya satu lagu, tapi amplop yang aku terima cukup tebal. Dona bilang yang empunya acara konglomerat. Begitu tahu aku penyanyi pengganti dan alasannya, dia menitipkan amplop itu pada Dona.

"Mau gue korup setengahnya, Tu, tapi gue takut kualat karmanya ke mobil ini," kata Dona saat itu.

Aku berniat memberinya separuh, Dona menolak. Katanya fee acara kemarin keras, masih lumanyan di kantongnya.

Si Kamal kemudian menepi. Tepat di depan gerai setor tunai. Sebelum turun, kepalaku tergelitik sesuatu.

"Kalau boleh tahu," kataku sambil memegang pintu, "kenapa Bapak minta saya ikut?"

Kamal yang melihat depan menatapku.

"Biar kelihatan wibawa aja. Biasanya relasi kalau lihat saya datang sama seseorang akan dikira asisten, jadi kayak saya kelihatan orang sibuk, orang penting."

Wah! Ternyata aku sebenarnya pajangan. Bukankah ini termasuk pelecehan atau... sialan si Kamal.

Aku hampir tersulut, tapi mengingat aku pernah mendapat pelecehan verbal yang lebih sadis, aku menanggapi santai jawaban menyebalkan Kamal.

Tanpa kata-kata lagi atau menoleh si supir, aku membuka pintu. Tepat saat berbalik, mataku menatap pesepeda dari arah berlawanan.

"Mba Marini!" Teriakku pada wanita yang mengayuh sepeda itu dan dia berhenti kemudian berbalik melihatku.

Aku berlari kecil menghampirinya.

"Mba Marin!"

Dia turun dan menghampiriku.

"Nduk!"

Aku memeluknya, dia memelukku sama eratnya. Desiran hangat menggelora di sekujur tubuhku, bersamaan dengan mataku yang seketika memanas dan berair.

Pesepeda ini guru pertamaku, dia yang mengajariku baca, tulis, hitung. Mba Marini, anak Mbah Ndut, keluarga yang mengabdi di rumah nenekku, yang menampungku setelah ayah membuangku ke rumah nenek, tapi tidak pernah mengganggapku cucu.

Nenek menolak kehadiranku di rumahnya. Aku diserahkan pada Mbah Ndut.

Tadinya aku mengira merekalah keluarga sedarahku.
Saat aku sudah agak besar dan mengerti beberapa hal, Mbak Marini menceritakan semuanya diam-diam. Mbah Ndut tidak pernah mengatakan hal jelek tentang nenek.

Aku mengurai pelukan kami, mengusap lengannya yang kecil beberapa kali. Mataku kemudian memindainya dari atas hingga bawah. Seketika aku melihat sepedanya.

Sepeda ontel yang telah dimodifikasi. Di boncengan sepeda itu dipasangi gerobak persegi. Isinya, berbagai minuman instan di gantung, di tata rapi. Lengkap dengan termos dan gelas.

"Mbak!" Seruku tak percaya. Setahuku Mba Marini bekerja di sebuah rumah makan.

"Kamu sehat toh sekarang. Tambah cantik adeknya Mbak."

Dia mengusap pipiku hingga terasa sebuah sentuhan keras dari permukaan tangannya.

"Mbak!" Suaraku sendu. Aku menggenggam tangannya. Siap memaksa dia menceritakan apa yang terjadi pada kehidupan damainya.

"Inilah hidup, Nduk. Seperti yang Mba bilang dulu, hidup itu perjuangan."

Mataku berderai-derai karena tak terima akan apa yang kulihat. Wanita ini dulu gemuk, sintal, dan sehat. Tidak seperti ini. Aku memeluknya lagi dan menangis di sana.

"Sudah toh, kamu masih kerja, kan? Ini masih jam kerja lho. Nanti balek kantor di lihat matamu bengkak sama teman-teman, gimana?"

Mbak Marini melepasku dan menghapus jejak air mata. Kembali tangan kerasnya menyentuh kulitku. Efeknya, hatiku yang berdarah melihat orang yang aku sayang ini tidak baik-baik saja. Tetap saja dia memaksakan senyum, seolah mengatakan Mba sehat walafiat makmur jaya sentosa.

"Tadi mau kemana? Ada perlu apa di luar, Nduk?" Pertanyaannya mengingatkanku.

Dengan gerakan cepat aku merogoh tas dan mengambil amplop yang di berikan Dona.

"Buat Mba, Mba pakai buat apa saja, yah." Kataku sambil merapatkan tangannya.

"Ini ap.. astaga Mba masih ada Nduk, ini duit kamu ya pakai buat keperluan kamu toh, kok di kasih ke Mbak, nanti kamu gimana?"

"Mba!" Suaraku dalam, "simpan, pakai buat Mbak dan anak-anak. Buat keperluan keluarga, buat modal, terserah Mbak." Nadaku tidak mau di bantah. Mbak Marini menarik napas dalam.

"Sekarang Mbak mau kemana? Jualannya dimana?"

Dia mengulas senyum bersemangat. "Mbak keliling-keliling, Nduk. Jam segini langganan Mba di sana," tunjuknya ke satu arah, "di pangkalan ojek, kadang di depan pabrik apa tuh? Pabrik di situ itulah pokoknya."

Aku tidak melihat arah yang dia tunjuk, hanya melihatnya, merekam wajah keibuan dan hangatnya. Kehidupanku dan Mba Marini tidak jauh berbeda. Kami di paksa menjadi seorang yang mandiri, kuat, dewasa oleh keadaan sebelum kami benar-benar siap.

Aku hanya mengangguk memahami jawabannya.

Tiba-tiba Mba Marini menelengkan kepala ke sisi kananku. "Itu siapa yang nungguin?" Aku menoleh belakang. Kamal berdiri di sisi pintu mobilnya.

Bibirku hampir menjawab teman kantor, sayangnya jawaban Kamal tadi terlintas lagi hingga membuatnya belum pantas kuanggap teman.

"Orang kantor." Jawabku akhirnya.

"Ya sudah, Mbak jalan dulu, kamu balik gih."

"Mba jalan duluan," pintaku.

Mbak Marini berjalan ke sepedanya.

"Ini benar kamu ga pakai buat keperluan, Nduk?" Tanya Mba Rini lagi, aku menggeleng tegas.

"Kalau habis telpon aku ke nomor ini Mbak," kataku mengeluarkan kertas struk belanja yang kudapat dari kantong baju. Aku menulis nomor ponselku cepat-cepat. "Aku juga kangen sama anak-anak, nanti kita ketemuan."

Memastikan nomornya benar, tanganku terulur.

"Nanti pokokne telpon aku, yah! Mbak masih ada hapenya?"

"Ada, ada. Nanti Mbak pakai hapenya Gendis." Jawabnya sembari siap mengayuh.

"Mbak, hati-hati."

Dia berlalu, membawa serpihan kecil hatiku. Di sisi lain, ada ketenangan dan rasa lega yang menyapa. Membayangkan dia akan terbantu dengan apa yang aku berikan. Kata Dona isi amplop itu sekitar 3 juta.

Mbak Marini sudah benar-benar menghilang. Aku menetralkan perasaan dengan napas dalam berkali-kali. Sedikit tenang, aku berbalik.

Pria itu masih di sana.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Where stories live. Discover now