Janji!?

225 50 15
                                    

Diperjuangkan? Sepengamatanku yang lumrah diperjuangkan di masa sekarang ini adalah materi. Hidup hedon di masa muda, seratus juta di umur 30 tahun, kebebasan finansial  dan jaminan kesejahteraan di usia senja. Hal-hal yang seperti itu yang biasanya kudengar mereka perjuangkan. Urusan hati menjadi urusan sekian. Atau mungkin pengamatanku itu terbatas? Iya, yang aku amati adalah kaum menengah ke bawah, yang urusan perutnya menjadi masalah yang paling krusial dimana yang di dapat hari akan dimakan hari ini; habis hari ini. Aku adalah bagian dari mereka.

Bagi orang-orang yang setara Kamal, masalah hati mungkin menjadi masalah utama saat ada tuntutan.

Orang dengan previllage paten cenderung aman dalam segala hal, kecuali urusan hati. Ibaratnya kesetiaan menjadi barang mewah dan langka. Jika perut mereka aman, kadang hati yang tidak tenteram. Jika karir sukses, kadang urusan asmara berantakan. Ini hukum alam.

Satu lagi pertanyaan; apa aku pantas untuk Kamal perjuangkan?

Kata Adam; dia tahu aku. Tapi aku tidak tahu mencakup apa saja yang Kamal tahu, selain aib yang tidak sengaja kuumbar tentunya. Kenapa dia mau membuang-buang waktu dengan orang sepertiku?

Dan sekarang, apa ini bentuk perjuangannya? Apa ini rasanya diperjuangkan? Kamal datang menjemputku jam dua dini hari tepat saat pekerjaan mural di hotel beres. Adam menyuruhku keluar lebih dulu saat akan ikut beberes alat-alat mural tanpa memberitahu bahwa Kamal sudah menunggu di luar. Kamal keluar dari kendaraan yang tidak ku kenali. Dasi yang longgar, kancing jas yang terbuka, penampilannya memprihatinkan.

"Sudah selesai?" Katanya menyapa, "beneran selesai, kan?" Kalimatnya minta kepastian.

Tanpa menjawabnya tanganku menyilang di dada, lebih heran kenapa dia mau lelah-lelah menghampiriku di pagi buta begini, padahal wajahnya sudah jelas kelelahan. Dia membukakan pintu, aku masuk, dan kami duduk berdampingan.

"Seneng banget ngerepotin diri sendiri." Entah kenapa aku ingin sarkas.

Omong-omong sarkas, aku teringat kejadian siang tadi dan sebelum Kamal menanggapi....

"Masalah di kantor tadi..." gugup menyerang seenaknya, aku juga berdebar karena takut akan efek yang diterima Kamal. Pikiran buruk bermunculan.

"Yang mana?" Pura-pura bego, kan, dia. Mustahil Kamal tidak tahu.

"Yang aku dikatai Tania," ini bukan tema yang cocok di bicarakan jam 2 pagi, tapi aku ingin tahu apa tanggapannya setelah mendengar keributan itu entah dari siapa.

"Kalau yang di kantor jatuhnya fitnah, aku sudah minta orang HRD buat konseling Tania. Kalau yang di warteg itu lebih bagus, lebih baik liat lawanmu yang kenapa-kenapa daripada kamunya."

Bisa dibilang aku bersikap barbar di sisa jam kerja tadi. Apa dia baik-baik saja kalau tahu sikapku begitu? Apa dia nyaman? Aku terbengong-bengong mendengar jawabannya sampai Kamal menjalankan mobil dan kami sudah meninggalkan hotel beberapa meter.

"Terus kamunya gimana?" Ingin tahu saja tanggapannya secara pribadi.

"Aku gimana? Maksudnya?"

"Kalau suatu saat orang-orang tahu tentang kita, tapi salah paham ini belum diluruskan, orang-orang bakal mikir yang aneh-aneh tentang kamu." Bener dong.

"Ya biarin aja, lagian udah lurus kok."

"Maksudnya?" Giliranku yang tak paham.

"Kamu kayaknya capek, mending istirahat dulu. Kita masih jauh."

"Yang aku heran dia bisa tahu aku keluar-masuk hotel ini, artinya Tania ngikutin aku, iya ga sih?"

Kamal mengangguk.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Where stories live. Discover now