Heterochromia adalah Kita

140 34 3
                                    

Adem. Hidup Datu sedang adem-ademnya.

Demi seiprit hal yang dia punya, Datu sudah punya bayangan akan seperti apa kehidupannya beberapa bulan ke depan. Memang tidak akan seteratur saat masih ngantor, tapi tidak buruk-buruk juga. Lebih lepas dan dinamis.

Beres kontrak, kerja freelance. Jadi model baju kek, model tangan, mural, atau jualan sayur dengan Adam. Sudah. Itu saja. Kalaupun ada hal baru, pasti akan dia coba. Lepas dari perusahaan tidak membuatnya takut kehilangan sumber hidup. Didikan Umi, apa yang ada di depanmu, kerjakan! Kalau tidak bisa, belajar sampai bisa.

Mana pernah dia mengira akan bisa membelah batok kelapa sebelumnya? Empat hari Abah melatihnya dan sampai sekarang dia masih lihai jika dihadapkan dengan kelapa utuh. Membersihkan jeroan untuk isian soto, Umi yang menggemblengnya hingga Datu tidak kenal lagi dengan kata jijik. Selain akal, orang seperti dirinya butuh skil untuk bertahan. Dan seiring waktu beranjak dewasa, mengenal lebih banyak orang, skil-skil yang lain mulai Datu kuasai. Tentunya bersama Adam.

Sekarang perkiraannya meleset jauh. Hidup damai yang sudah di ambang mata; lenyap. Bukan dia marah akan hadirnya Kamal dan keluarga yang tidak mengharapkannya, tetapi rasa nyaman dalam hidup rasanya baru sebentar dirasakan Datu. Dia ingin lebih lama kalau bisa.

Semua ketidaktenangan itu berkumpul dan mengguncangnya. Beberapa menit setelah dia meninggalkan rumah Umi. Juga beberapa penjelasan Kamal pada Umi dan Abah menyadarkan Datu akan beberapa hal yang belum bisa dia uraikan dengan kata-kata. Hanya dengan rasa sesak dan tangis hal itu terungkap.

Kamal memutuskan singgah ke sebuah tempat makan setelah Datu tenang. Dia lebih dari yakin Datu, bahkan dia sendiri belum makan dengan benar hari itu. Kamal sendiri sudah merasakan ketegangan begitu tahu Datu tidak ada dikontrakan. Ditambah Sulis yang juga tidak bisa membantu dengan informasi, menambah kegaduhan pikiran Kamal sampai melewatkan makan.

Menu sudah di pesan.

Datu sudah tenang tapi belum membaik. Dalam arti keinginan bicara masih sedikit. Kamal lebih banyak mengambil alih dalam urusan menu. Sedikit ilmu dari Adam cukup bermanfaat, katanya kalau Datu sedang kacau beri saja makanan berkuah dan biarkan makan dengan berisik. Maksudnya sambil di sruput-sruput gitu.

Merasa momen yang tepat datang, Kamal meraih tangan Datu yang memainkan botol air mineral sebelum bicara.

"Ada yang mau kamu ceritain? Tadi nangis kenapa?"

Datu tersentak hingga berani memandang Kamal setelah kebanyakan nunduk sejak tadi. Ujung matanya masih berkaca. Benar saja. Kamal bergerak mengusapnya.

"Keliatan banget sih dari sini," Kamal melingkari wajah Datu hingga telunjuknya berakhir di kening wanita itu, "semrawut. Banyak sekali yang kamu pikirin."

Dikentarai setepat itu Datu kembali terguncang kecil. Kamal semakin mengeratkan genggamannya. Datu mengambil ketenangan dengan tarikan napas dalam beberapa kali.

"Aku ngerasa... kamu ngerasa ga sih hubungan kita ini salah?"

"Iya, ngerasa sih. Harusnya kita ketemu dari dulu, sepuluh tahun yang lalu kalo bisa."

Datu tersentak, mencium aroma bercanda. Dia ingin pembicaraan serius.

"Kamu sudah lihat dimana aku tumbuh tadi, oleh siapa aku dibesarkan, lingkungannya, orang-orangnya. Mungkin waktu kamu belajar di kelas, aku lagi rapiin bahan soto di warung Umi. Waktu kamu liburan, aku lagi kumpulin kardus bekas. Waktu kamu baru masuk dunia kerja, aku mungkin lagi bergelut dengan kelapa. Kita..." rasa sesak di dada Datu datang hingga dia mengambil jeda.

"...kita ini ibaratnya dua bola mataku yang warnanya beda ini. Aneh kalau di lihat karena perbedaannya. Kita juga begitu, Mal, berbeda. Perbedaannya warna kita terlalu jauh. Mungkin kamu kadang nggak sadar gimana orang-orang..." Kama menyentil kening Datu, meraup wajahnya hingga dia berhasil mendaratkan satu ciuman di pipi Datu dan membuat Datu berhenti bicara.

"Jadi itu masalahnya."

"Aku lagi serius." Balasnya sambil menggeplak lengan Kamal. "Aku lagi serius, bisa nggak sih?" Mulai kesal.

"Bisa. Kan dari tadi aku dengerin."

"Tapi reaksi kamu gampangin omongan aku."

"Kata siapa?"

Tentu saja Datu menyimpulkan seperti itu melihat Kamal yang malah senyum-senyum santai setelah mendengarkan penjelasannya.

"Kamu, ih." Datu kesal sendiri dan matanya lagi berair. "Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita, kita iabarat heterochromia kayak mataku ini, Mal. Ngerti nggak?"

"Ngerti. Terus kenapa?"
"Ya berarti nggak bisa."
"Bisa!"
"Kamal!"
"Kenapa calon istri?"

Datu menghantam dada Kamal karena kesal, Kamal meraihnya hingga sekarang dua tangan Datu berada dalam genggamannya.

"Seneng banget nyari penyakit sendiri. Berhenti ya mikirin yang gitu-gitu!"

"Gimana? Gimana aku nggak mikirin coba? Gimana caranya orang aku ngalamin."

Kamal juga menenangkan diri setelah sedikit bergetar mendengar pengakuan Datu yang berhasil dia sembunyikan. Dibalik ketenangan yang nampak, percayalah Kamal juga sangat kaget tadi. Tentu saja sembari berpikir cara untuk tidak mengabulkan kemauan emosional Datu agar hubungan mereka berakhir. Wajar saja Datu merasakan tekanan pada hubungan mereka, ini baru untuknya. Adam sudah mengatakannya dulu, bahwa dia adalah pria pertama yang Datu terima sebagai pasangan. Mudah untuk Kamal, tidak untuk Datu.

"Pernah nggak kamu sadari gimana cantiknya heterochromia di mata kamu itu?" Nada Kamal sedikit berubah. "Cantik sekali."

Datu yang sudah mulai tenang, tersentak dengan nada serius Kamal. Bahaimana nanti pria ini akan menanggapi pendapatnya membuat Datu deg-degan.

"Mungkin kalau aku bilang cinta banget sama kamu, kamu nggak percaya. Atau aku ubah panggilan kami jadi Sayang, itu nggak akan cukup. Kamu tadi bilang hubungan kita seperti warna mata kamu yang berbeda. Memang. Tapi warna mata yang berbeda itu ada di satu tubuh dan aku sayang banget sama yang punya heterochromia itu, gimana dong?"

Kamal mengusap ujung kepala Datu melihat gadis itu terdiam.

"Aku aries, tau nggak gimana orang yang zodiaknya aries kalau sudah suka duluan sama seseorang?"

Daru hanya sanggup menggeleng kecil memberi jawaban.

"Nggak akan dilepas mau sekuat apa pun kamu berusaha. Jadi jangan cari-cari ide lagi biar kita pisah. Apalagi angkat-angkat soal perpedaan kita, aku nggak suka. Aku bukan orang yang suka banding-bandingin, jangan lagi-lagi diomongin pemikiran kamu yang tadi. Aku cinta kamu sebagai Datu Mayura. Mau seperti apa kamu di masa lalu, aku nggak peduli, aku harap juga kamu begitu kalau nanti-nanti denger cerita masa laluku. Sekarang fokus aja sama hubungan kita. Sudah di lamar juga."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian!"

"Dengerin dulu!"

"Ngomongnya nanti, setelah makan!"

Makanaan yang mereka pesan mulai berdatangan. Aroma kuah menyeruak dan berhasil mengalihkan perhatian Datu.

Kamal mengetik di ponsel, mengirim beberapa pesan. Setelah itu menekuni hidangan yang sudah Datu tata di meja.

Aries. Kalau sudah tidak suka duluan, barulah dia akan melepas.




Miss u guys. Enjoy!

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu