Lupa Mabok

250 42 13
                                    

"Hu-hu-hu tu-wa-ga tu-wa-ga..."

"Ngapain?"

Setelah peregangan dari kepala hingga kaki, sekarang Datu lari di tempat, lompat di tempat, jalan di tempat sambil menggerakkan tangan ke udara. Meninju oksigen.

"Ngapain, ngapain... ya pemanasan lah." Sahutnya sewot.

"Tujuannya apppa?" Sebelum ini sudah terjadi beberapa drama. Jangan heran nada Kamal agak kesal.

Bagi Datu ini terlalu mendadak.

Posisi mereka sudah di depan ruang rawat Uti. Sudah ada kejadian tarik-tarikkan antara dia dan Datu sedari tadi. Datu menolak masuk, malah meminta Kamal saja yang menemui sang Nenek. Tentu Kamal menolak, karena tujuan Uti memanggil mereka bukan bertemu Kamal saja.

Uti sedang di rawat di klinik Nikita, dimana Kamal membawanya dulu ketika kejatuhan stapler tembak. Beliau kelelahan sepulang dari Banjarmasin. Buru-buru kembali setelah mendapat kabar Kamal menemukan pasangan baru.

"Mau berapa lama gerak-gerak kayak gitu?" Untung lorong kamar klinik itu sepi. Tidak ada yang melihat tingkah mbak pacar.

Akhirnya Datu berhenti bergerak, mengatur napas agar suaranya stabil. Bukannya berhenti deg-degan, dadanya di rasa makin bergemuruh saja. Usus makin semrawut terpelintir dengan jantung yang berakibat mulas.

"Kamu nggak ada mau briefing dulu, kayak apa gitu? Kayak model rambut kesukaan Uti kamu, sendal favoritnya beliau, model baju, biar aku ada bahan."

Kamal meraup wajah mengumpulkan kesabaran lagi. Hampir satu jam Datu mengulur waktu.

"Serius ketemu pertama mau bahas model rambut?"

Tiba-tiba saja badan Datu terkulai lemas, bersandar ke tembok dan melorot ke lantai.

"Kenapa? Ada yang sakit? Perut kamu kram lagi?" Mas pacar panik. Meraba-raba wajah Datu.

"Rambut aku..." Datu teringat rambutnya yang masih berwarna biru elektrik keungu-unguan. Sisa kepentingan pemotretan produk baju Inggid. Walau yang di warnai bagian tengah ke bawah, bisa tertutup saat rambutnya di gerai, tetap saja.

Kamal mengambil napas lega meski melihat mata Datu berkaca-kaca. Hufth.

Dia bangun dan menarik tangan Datu, "mending masuk dulu deh."

"Aku maluuuu, takuuut."

"Kemarin ketemu Bunda, Akung kamu nggak takut."

"Takuuut jugaaa, tapi lebih takut yang sekarang. Biasanya di sinetron peran nenek paling kejam."

Kamal sudah gemas ingin menggeret Datu saja biar cepat. Tapi tidak tega melihat wajahnya yang masih pucat.

"Di cerita dongeng, Cinderella saja punya privilledge anak bangsawan. Dinikahi sama pangeran rasanya masih wajar. Lah aku?" Sejauh ini rasanya tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Dari awal dia sudah bilang, Kamal terlalu aifon untuk dia yang esia hidayah.

Dipikiran Datu sudah terbayang wajah sinis Uti saat mereka bertemu. Setelah itu akan ada pertanyaan-pertanyaan klise yang memojokkan, sindiran halus, kemudian serangan-serangan sadis lain menyusul. Ngeri pokoknya.

"Percaya deh, nggak akan pembahasan-pembahasan yang kayak dugaan kamu."

"Terus gimana? Bunda sama Akung mungkin cuma..." entah karena efek apa, Datu kembali berpikir hubungan mereka mustahil.

"Ssst... bisa nggak sih kamu percaya sama aku aja dulu?"

Lelah? Iya. Selama perjalanan Datu terus di serang overthinking sampai tidak merasakan mabuk di mobil.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Where stories live. Discover now