Jadi....?

176 33 2
                                    

Pick up Adam terparkir di bagian depan kantorku dengan mulus.

06.30

Masih sangat awal hingga aku belum menemukan satu orang saja berlalu lalang kecuali Pak Ram.

Aku sengaja datang cepat, alasannya

"Buruan naik!"

agar Adam bisa leluasa menggendongku hingga ke depan ruangan.

"Kalo gue berat, lo bisa istirahat dimana aja," ocehku sambil melingkari tangan di leher Adam, "kantor masih sepi."

"Berat apanya? Lo seenteng ini." Balas Adam. "Lo makan makanan tembus pandang tak berwujud apa gimana?"

Aku langsung menamplok kepalanya. Dia tertawa lebar sesuka hati.

"Teks gue sejam sebelum lo pulang, ingat!" Pesannya kemudian.

"Iya. Emang nganter sayurnya sampai jam berapa?"

"Ya ga tahu, nggak bisa gue kira-kira, tahu kan lo jam kerja gue?"

Adam menerima jasa angkut sayur di pagi hari dengan pick up pemberian ayahnya. Kalau selesai cepat, dia menerima jasa angkut yang lain, entah orang pindahan rumah, mengantar rombongan anak pesantren, angkut barang apa saja dia jabani, kecuali angkut hati wanita.

"Kalo gue datang lama, lo nunggu sama Pak Ram aja di depan." Adam mengenal Pak Ram, dulu kami satu lingkungan.

Adam sama sibuknya seperti aku. Di hari tertentu, jika sedang malas menyetir dia akan seenaknya menerima job mural dan pasti melibatkanku. Jika mural di hari kerja, kami kerjakan di malam hari setelah jam kantorku selesai. Kalau di akhir pekan, kami bisa melakukannya seharian.

Dan hari ini, di sela kesibukannya, dengan pick up penuh sayur di belakang, dia mengantarku ke kantor. Aku menyesuaikan diri dengan jam kerjanya, langsung setuju saat dia menyebutkan syarat waktu. Walhasil aku bersiap lebih awal. Demi melihat ruangan baru.

Namun begitu, semalaman pula dia sudah mengomeliku setelah tahu alasanku minta di antar. Marah-marah karena aku tidak menelponnya sedari awal.

"Gue di urus orang kantor, kan celakanya di kantor." Alasanku waktu itu yang membuat Adam berhenti mengoceh.

Dia dan Bundski adalah sahabat rasa saudaraku.

Segaris kecil syaraf otakku memutar kejadian kemarin. Sesuai keyakian Kamal, aku berusaha sendiri meraih kursi roda. Dia masih memiliki budi pekerti dengan membantu mendorongku. Hingga mendaftarkan administrasi sampai aku di periksa dia terus menjadi bayanganku. Yang sedikit aneh adalah saat aku selesai di periksa dan dokter wanita yang menanganiku bertanya tentang hal yang menurutku awkward begitu Kamal keluar ruangan menerima telepon.

Dokter itu membuang napas seolah telah lepas dari jutaan ton beban. Bahunya lunglai sambil menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Dengan suara cukup rendah dia bertanya, "apa kalian punya hubungan khusus? apa dia bicara normal?"

Aku hanya sempat menjawab pertanyaan pertama sesaat sebelum Pak Kamal masuk lagi. Tentu aku mengelak dan menjawab seadanya.

"Tidak. Kami sekantor, ini juga baru ketemu."

Sekantor, untuk menambahkan kata 'teman' saja rasanya belum pantas meski kami satu gedung. Dan lagi kalau mereka saling kenal, kenapa tidak bicara layaknya orang kebanyakan?

Dokter itu kembali tegang begitu Kamal muncul.

"Kalau sudah kami keluar dulu." Kata Kamal dan tanpa bicara pada si dokter dia menyeret kursi roda, membawaku keluar begitu saja.

Setelah itu kami tidak bicara lagi. Dia menebus resepku tanpa diskusi dan aku hanya bicara saat dia menanyakan alamat.

Omong-omong, tulang punggung kakiku mengalami sedikit retak. Aku punya surat izin sakit, tapi sekali lagi demi tempat baru.

***

Kamal

Apa ini? Kenapa ada mobil pengangkut sayur memasuki perkantoran?

Sepagi ini.

Gue sengaja datang sangat awal karena sesuatu. Dan sesuatu yang harus gue lakukan itu sedikit buyar melihat apa yang gue temui sekarang.

Cowok dengan baju santai keluar dari mobil carry tanpa atap penuh muatan sayur. Apa karyawan di sini punya pekerjaan sambi menjual sayur?

Gue sudah siap turun, tapi tidak lama gue terpaku lagi melihat apa yang dilakukan orang itu. Dia membungkuk di depan pintu penumpang, kemudian seseorang naik. Retina gue bekerja di luar kendali. Sibuk mendeteksi siapa yang di gendong si tukang sayur. Nggak sampai lima detik, gue langsung mengenali wanita itu.

Gue menutup lagi pintu mobil. Duduk bersandar, mengambil napas, menyusun lagi hal-hal penting yang harus gue lakukan, kemudian keluar.

Tanpa gue duga lagi orang itu keluar gedung, kami berpapasan. Dia sedikit berlari menuju mobilnya, mobil sayurnya. Ga tahu kenapa gue malah mengamati gerak-geriknya.

"Maaf!" Shit, kenapa gue malah nyegat. "Anda tidak bisa keluar masuk dengan baju seperti itu kecuali..."

Sebenarnya tidak ada masalah dengan baju. Gue malah belum tahu pasti aturan berpakaian kantor ini karena baru seminggu di sini. Hanya tertarik saja mencari masalah dengan orang ini.

Dia melihat gue kebingungan, melihat pada benda yang dia bawa bergantian.

"Sori, kalau gitu biar saya titip ini sama Pak Ram."

"Itu punya pegawai yang tadi?" Cegat gue lagi implusif. Demi Tuhan, gue ga bisa mengontrol tindakan gue sekarang.

"Iya, ini bekal Datu."

"Datu? Oh, iya Datu... biar saya yang berikan ke Datu."

Baru gue ingat lagi namanya.

Dia menatap gue, ragu.

"Kemarin saya yang bawa dia ke klinik."

"Oh."

Wajahnya lunak dan ragunya hilang.

"Oke, makasih. Kebetulan saya buru-buru."

Dia memberikan gue plasti berisi kotak makanan. Ada apel dan pisang.

Bekal? Yang benar saja.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Where stories live. Discover now