Agak Kaget sih

137 34 2
                                    

Datang pada jam normal, Datu mendapati para pegawai di sambut petugas keamanan di pintu masuk utama kantor. Dua orang dengan seragam hitam khas petugas keamanan. Pada setiap pegawai yang datang mereka mengangguk hormat dan tangan mereka mengarah pada salah satu sisi gedung dimana kemudian pegawai mengikuti arah yang di tunjuk. Sekarang giliran Datu, si perugas melakuakan hal yang sama. Yang tadinya dia tidak kaget karena mengira itu hanya sambutan biasa, Datu terperanjat kecil melihat lima meter di depannya sudah berkumpul semua pegawai yang tadi datang.

Kini dia terjebak di tengah keramaian semua kacung korporat, mengambil posisi paling belakang dari sebuah podium portable yang telah di siapkan di depan sana. Datu mendesah, belum paham maksud perkumpulan ini. Semua divisi menjadi satu dan Datu tidak mengenal orang yang di depan-belakang atau sampingnya. Anak marketing tidak tampak, mungkin tenggelam antara mereka. Di divisi baru dia hanya berdua dengan Siro. Siro juga belum kelihatan.

"Eh!" Datu hampir terjerembab karena bahunya tertabrak bahu lain. Kaget, Datu melihat si pelaku. Tania menatapnya sinis yang merendahkan. Tania berlalu, maju lebih depan bergabung dengan entah siapa, meski begitu Datu tidak akan melupakan insiden ini.

Lima belas menit beranjak, seorang wanita dengan rambut bob di cat coklat tua keemasan menaiki podium. Garis wajahnya kaku menunjukkan ketegasan dan kharisma. Dia berdehem sebelum memulai pidato. Pada akhirnya Datu bertatap dengan orang yang memegang kekuasaan tertinggi kantor. Beliaulah Bu Dena, si wanita berkharisma.

Datu mendengar jelas semua hal yang disampaikan. Bu Dena menyinggung masalah kedatangan, disiplin, target, visi-misi, dan masalah seragam yang akan di tentukan setiap harinya. Akan ada seragam baru yang wajib dipakai hari Senin-Selasa, Rabu-Kamis bebas rapi, Jum'at-Sabtu batik. Semua diminta disiplin mengikuti aturan. Akan ada penilaian kinerja dan pegawai terpilih setiap bulan. Entah aspek apa yang akan di nilai, Datu tidak mau ambil pusing. Kecuali taat pada penggunaan seragam, sisanya Datu akan bekerja seperti biasa tanpa perbuhana apa pun, tanpa ada niatan akan menjadi pegawai terpilih di salah satu bulan. Seragam akan di berikan minggu depan, sepuluh menit berikutnya Bu Dena menutup pengarahan. Semua bubar kembali ke ruangan masing-masing.

"Eh!" Seruku kaget jilid dua begitu ruangan kubuka. Sudah ada Siro plus Kamal.

"Gimana-kok bisa kalian sudah di sini? Ga ikut kumpul?" Aku menyuarakan rasa penasaran.

Masalahnya tadi aku melihat para keamanan mencegat para pegawai tanpa kecuali. Mustahil Siro dan Kamal ...

Ah sudahlah.

"Oh, kumpul yang tadi ya? Kita lewat pintu belakang jadi ga ikut. Gimana tadi? Ada yang penting?"

Pintu belakang?

Seumur-umur aku bekerja di sini pintu belakang tidak pernah di buka bahkan sudah di tutup mati dengan gembok besar yang hampir berkarat. Sejak kapan pintu belakang di buka lagi? Aku memalingkan wajah menyembunyikan rasa ingin bertanya lebih jauh. Tidak hanya itu, entah perasaanku saja, Kamal selalu memberiku tatapan intens begitu kami bertemu. Seolah ada hal penting yang harus kami bicarakan dan aku takut dia membukanya kapan saja. Bisa saja di depan orang banyak. Dia pasti ingin bertanya masalah kecacatanku. Aku bahkan bisa menebak dari tatapannya saja. Sudah terlanjur melihat, suatu hari mungkin aku akan membukanya. Tapi tidak sekarang.

Kemarin sepulang dari rumahnya, kami bicara cukup banyak dan leluasa tanpa canggung. Tanpa ada pembahasan warna mataku yang berbeda. Sekarang aku malah mundur, kembali merasakan kecanggungan dengan alasan yang sama.

"Hanya ada perubahan outfit kantor, Senin-Selasa seragam baru, Rabu-Kamis bebas rapi, Jum'at-Sabtu batik untuk pegawai belakang meja," jelasku sambil duduk dan mengikat rambut. Siro ke mejaku memberi segelas kopi merek ternama inisial S yang tidak akan pernah kubeli.

Mumpung gratis aku berkata "terima kasih" padanya. Dan saat menyedotnya sekali aku langsung kecewa oleh dominasi rasa manis. Kebiasaanku adalah kopi tubruk warung murah tanpa gula. Dasar kampung kamu Datu!

Si S kutinggal di pojokan.

"Tapi kenapa anda malah di sini?" Tanyaku pada Kamal.

"Saya? Oh... ada..."

"Kamal butuh beberapa informasi perusahaan tiga tahun belakangan, kebetulan ada sama gue, jadi dia di sini...yah, sekitar satu jam ke depan, gitu kan Bapak Kamal?"

Nada Siro mencurigakan, tapi penjelasannya masuk akal. Lagi aku tidak punya hak absolut mengatur dimana dia harus bekerja. Jabatan Kamal jauh di atasku dan Siro, danlagi Siro adalah temannya. Aku hanya mengendikkan bahu tak acuh, kembali ke meja dan fokus dengan pekerjaan.

"Oh ya!" Siro berseru antusias, "siang ini gue traktir makan siang semua yang kemarin makan siang di sini, temen-temen lo Datu."

"Ada hajatkah? Ulang tahun?"

"Bukan. Tanggal saya sudah lewat, kok, ini sebagai perayaan video acara kita kemarin yang do'a paling konyol itu di tonton lebih dari satu juta views, melampaui target dan vlog-vog saya sebelumnya...."

Siro menyebutkan nama chanel Youtube yang dia buat, memintaku menjadi pengikut dan menonton video kami dan juga memberi komentar.

"Diusahakan nanti." Kataku menyanggupi setengah hati sembari berpikir adensenya berapa ya kira-kira?

"Gue yang dapat puluhan juta aja ngasig reward ke pengisi konten, apalagi perusahaan ke pegawainya yang bisa jual produk sebanyak ini dalam sebulan," Siro mengangkat satu lembar kertas, "reward kamu dulu apa?"

Aku mengendikkan bahu, "apa pentingnya reward buay SPG lapangan, baru lagi. Yang saya tahu saya cuma menjualnya dan memberikan profit pada perusahaan."

Kalau Bu Dena sudah ada di sini dulu, aku pasti sudah jadi pegawai teladan berbulan-bulan dengan hasil yang kuraih.

"Wah tega tega tega, masa hasil sebanyak ini tidak di apresiasi," nada Siro malah meledek di telingaku meski maksudnya adalah prihatin, "minimal bonus bulanan atau bonus akhir tahun kamu puluhan juta, gimana?"

Aku menggeleng lemah, tidak keduanya, bekerja di belakang meja saja baru bisa kudapat setelah 2 tahun di lapangan.

"Mungkin ini balasan karena kejahilan saya."

"Jahil?" Siro terdengar antusias dan aku membalik badan berniat membuka sebuah rahasia. Kamal tetap serius di depan laptopnya dan aku yakin tidak tertarik dengan hal sereceh ini.

"Ini rahasia, janji?" Kataku menjulurkan kelingking pada Siro, dia mengaitkan kelingking kami, "pernah di satu malam saya menjual produk dengan taruhan..." aku memperbaiki posisi agak dekat dengan Siro dan bercerita setengah berbisik agar si Ono tidak dengar walau mungkin sia-sia, "ngomongnya gue-elu aja ya?" Oke kata Siro, "jadi gue taruhan, tim yang kalah harus beli produk yang gue bawa malam itu ke arena, semuanya." Aku menekan di akhir.

"Terus terus?" Siro terdengar bersemangat seperti mendengar gosip panas.

"Nah, gue tanding dah tuh habis-habisan, gue tanding dua kali, Adam dua kali, anak-anak yang lain pada sekali bantuin gua. Ini jalan ninja gue biar bisa jual banyak, adalah benerapa malam gitu."

"Emang lu tanding apa, Wak?" Tanya Siro berbisik.

"Gue balap liar."



Sori sori sori mimin telat, wifi di rumah error
Salam manis Datu dan Kamal.
Lop yu all.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Where stories live. Discover now