Ya?

188 45 10
                                    

Tadinya kukira setengah dari masalah dalam hidup selesai saat ujian sekolah. Ternyata itu belum seperempatnya. Setelah mendapat pekerjaan pun juga masalah tidak melulu mendapat solusi tetap. Ada saja hal yang tidak selesai hanya dengan bekerja. Fase usia menikah, bahkan setelah mendapat pasangan pun aku masih merasakan banyak masalah yang belum beres.

Hidup memang tentang masalah.

Aku kira pengetahuanku sudah banyak, nyatanya masih banyak hal yang belum aku ketahui. Tanpa permintaan dariku Adam meng-googling nama Kamal, sehari sebelum Kamal datang ke hotel. Sebelumnya dia bertanya nama lengkap Kamal dan aku tidak tahu. Aku menelpon Ati untuk bertanya. Adam mengetik nama lengkap Kamal, Kamal Abeerham Siddis. Tidak ada informasi yang keluar. Tapi Siddis-Siddis yang lain bermunculan. Kimmy Atheena Siddis, adik perempuan Kamal satu-satunya.

Dari satu artikel, Kimmy di kenal sebagai atlet berkuda, kadang mengisi waktu menjadi muse beberapa brand ternama. Selain kuda, hobinya yang lain adalah tari, traveling, dan gambar.

Lalu Nikita Riyanti Siddis, si dokter cantik yang menanganiku di klinik. Aku curiga klinik itu milik keluarga. Abilaga Siddis, Panji Bharata Siddis, dan ada siapa lagi yang aku tidak sanggup baca ulasan tentang mereka. Entah mereka siapanya Kamal, yang pasti artikel tentang mereka memuat hal yang semuanya keren. Dari tampang, pekerjaan, life style, asmara. Tetapi tidak ada tentang Kamal.

"Dari mereka semua mungkin Kamal yang paling tidak boombayah kalau di bahas." Pendapat Adam waktu itu.

Meskipun tidak ada hal menarik yang membuat Kamal dijadikan bahan artikel, tetap saja aku semakin merasa powerless menjadi pasangannya. Perasaan seperti aku terlalu singkong untuk dia yang keju, aku terlalu klepon untuk dia yang brownis, terlalu siomi untuk dia yang aifon, terlau rengginang untuk dia yang kastengel semakin merajalela. Itu semakin membulatkan tekadku untuk putus.

"Gue mesti gimana?" Tanyaku putus asa.

"Ya gimana, kalo lo ga nyaman ya udahan aja."

"Maunya gue ya udahan aja, apalagi kalo ingat gimana nanti reaksi keluarganya tentang gue yang begini. Otomatis gue jadi target buli, target kasihan... sadis sih kalau Kamal sampai dikucilkan. Ngeri gue. Tapi kalau masalah kenyamanan, Dam, dia baik banget ngetreat gue sebagai pasangannya."

Sebelum tahu ke-boombayah-an Kamal tentu saja aku merasakan kenyamanan di dekatnya. Kamal pelit bicara, tapi masalah servis dia cukup teliti. Setelah kami remi pun act of servicenya semakin membuat betah. Adam sudah bagus berada di posisi netral, mendukung apa saja keputusanku. Aku sendiri yang tidak konsisten. Mana sekarang ketemu lagi untuk kali pertama setelah empat harian aku menghidari dia. Semakin labil diri ini.

Kamal berkata, "Minum air dulu, esnya nanti!" Sambil membuka satu botol air kemasan tanggung dan menaruhnya di depanku. Es yang aku pesan dia pindahkan ke sisi kanannya.

Sebenarnya aku keberatan. Kalau sudah kepedasan  begini es teh sisri pakai susu adalah minuman terbaik penghalau panasnya cabai. Setengah kesal aku menegak air.

"Udah nih, esnya sudah bisa?"

Warung Indun memiliki bangku memanjang, otomatis kami duduk bersebelahan dan tentu saja kesulitan meraih gelas es yang Kamal pindah ke sisi kanan.

Kamal mengambil satu sendokan terakhir mienya, kemudian mengambil es untukku. Dia meneguk air dari botol yang sama denganku. Seketika itu juga aliran darahku mengalir lebih cepat karena jantung yang terkejut. Belum selesai sampai di sana, Kamal mengambil gelas esku dan menelitinya sebentar kemudian mangambil posisi minum di titik tertentu. Tepatnya titik bekasku.

"K-k-kenapa begitu? Kamu punya es sendiri, air botol juga ini masih banyak, nih." Ujarku protes memelototi air kemasan di depan kami.

"Mau cium kamu di sini ga mungkin soalnya."

Kan!

***

Ada yang meleleh, tapi bukan es.

Iya, iya, es mencair bukannya meleleh. Masalahnya perasaanku sekarang pada pria ini semakin kurang ajar. Akibat kejadian di warung Indun tadi, keinginan untuk menyelesaikan hubungan ini malah lenyap, mencair entah kemana. Padahal keinginan itu sudah sangat kuat dan padat.

"Targetnya selesai hari apa?"

Kamal mengantarku kembali ke hotel. Kami baru tiba di lobi.

"Belum tahu, ga mungkin selesai minggu ini. Senin depan aku ngantor lagi, kelar ngantor aku lanjut ke sini."

Langkahku terhenti, "nganternya sampai sini aja."

Meski hotel baru, aku yakin tidak boleh sembarang orang masuk.

"Kenapa?"
"Kamu bukan pekerja, ga boleh masuk seenaknya."
"Oooh."

Bukannya menurutiku Kamal malah nyelonong melewati bagian front office menuju lift. Seorang bell boy yang melewati kami menunduk ramah melihat Kamal.

"Kamu kenal sama pegawai di sini? Gimana bisa?" Serangku begitu kami di lift.

"Enggak juga." Kilahnya.

"Tapi tadi..."

"The power of orang dalam."

"Itu bukan jawaban." Aku tidak puas.

"Hotel ini punya Mas Geva, di buat diam-diam untuk istrinya, Mbak Ochi, sebagai hadiah pernikahan. Aku cuma bantu masalah izin dan beberapa kali ke sini jadi ada yang kenal muka, itu saja."

Aku terkesan yang bercampur merinding. Rasanya semakin takut melihat Kamal sekarang.

"Ngeliatnya jangan kayak gitu, pacar kamu bukan monster."

Tiba-tiba dia menyambar, melingkarkan tangan di leherku sampai kami berdempetan. Refleks aku mendongak dan wajah kami bertemu.

"Ini lift ke dua, selain mau cium kamu, aku juga mau bilang I love you, Datu Mayura."



Ekhem...ekhem... sebenarnya ini part intermezo aja kali, ya. Jarang2 mereka bucin. Next chapter mau masuk part serius soalnya. Btw, makasih semua untuk doanya. Jaga kesehatan, ya. Luv u all.

Regards, Lia Amin.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang