12. Medpen Trio, dalam Percakapan tentang Reed

25 3 1
                                    

Ulisia pamit setelah berhasil meyakinkan Rosie bahwa sekalipun K mengamuk, Eistaat di mana K, Gerriel, dan Virio berada saat itu tak akan membiarkan K melukai siapa pun.

"Kami baru saja bergabung dengan putra-putri kami. Akan buruk bagi citra Eistaat jika kami membiarkan kekerasan terjadi di tanah kami," pungkas Ulisia. Sang Eistaat kemudian menjelaskan ia harus pergi lantaran presiden Ulisia memanggilnya untuk sebuah rapat penting. Ini mengingatkan Rosie akan sesuatu.

"Apakah rapat itu ada hubungannya dengan Eistaat Svethund dan negara jagaannya?" sambar Rosie sebelum Ulisia sempat lenyap. Wajah Ulisia berubah muram kala ia mengangguk.

"Semua negara harus memutuskan apa yang harus kami perbuat pada Otoritas Svethund."

"Tolong jangan ada persekusi." Rosie memohon. "Meskipun kemungkinan besar militer dan badan intelegensinya terlibat, tak serta-merta warga sipilnya juga demikian. Kukatakan ini sebagai pihak yang terlibat dalam misi penjemputan Eistaat, Rou. Aku bersedia terlibat demi kedamaian dunia, jadi kuharap warga Svethund tak dikecualikan dari kedamaian tersebut."

"Kami akan berusaha yang terbaik." Ulisia tersenyum. Namun, Rosie melihat kekosongan dari matanya. "Anak-anak, aku pamit dulu. Kalau kalian enggan berada di ruangan ini tanpa aku, kembalilah ke kafetaria. Gerri, Virio, tak perlu sungkan bergabung dengan teman-teman Rosie. Difa akan memperkenalkan kalian sebagai teman lama Rosie sekaligus putra dari salah dua personel terbaik Satgas. Singkat kata, berbangga dirilah."

Ulisia membuka pintu ruang rapat, melambaikan tangan, lalu lenyap begitu saja. Ketiga remaja meninggalkan ruang rapat dan mengikuti Rosie menuju kafetaria. Tak ada tanda-tanda kehadiran Vaeglu Fazze ataupun Vicella Orlim-Destizel. Ulisia berkata kemungkinan mereka sudah kembali ke pos masing-masing.

Sejujurnya, Rosie merasa agak kikuk berjalan bersama Gerriel dan Virio. Tak heran karena ia pernah memblok mereka dari hidupnya selama dua setengah tahun terakhir. Di sisi lain, ia senang mereka telah berbaikan.

"Omong-omong, yang kau pakai itu baju Ma, kan?" Virio meneliti jogging track yang dipakai Rosie. Rosie mengangguk salah tingkah.

"Satu-satunya yang kupakai saat kemari cuma seragam akla, jadi Prani Vicella meminjamiku pakaian yang lebih enak untuk dipakai sehari-hari."

"Memangnya apa yang kau pakai berpengaruh pada misimu di Parasys?" tanya Gerriel.

"Tidak terlalu, sih. Kami memakai seragam akla karena kami menjalani misi sebagai akla. Lebih untuk simbol alih-alih fungsi. Toh, manusia tak bisa terluka di sana."

"Kau tidak pakai seragam akla di pertarungan terakhir, begitu juga Reed." Gerriel baru teringat.

"Oh, kalian menonton kami?"

"Semua orang menonton kalian," koreksi Virio. "Seluruh dunia diminta stand by di depan layar."

Rosie hanya mengucapkan "oh" kecil. Wajahnya memerah, menyadari seluruh dunia mungkin sudah mengenalnya.

"Kapan kalian kemari?" tanya Rosie lagi. "Apa kalian berangkat bersama Difa?"

"Ya. Kami pergi tak lama setelah tayangan Eistaat disiarkan. Kami bertiga menontonnya di Bandara Militer Prisna," jawab Gerriel. "Dari jauh-jauh hari, Pa dan Ruan Cella meminta kami bersiap di sana. Khusus Difa, dia diantar keluarganya. Rekan-rekan Pa kesulitan menangani dia. Sejak kau masuk Parasys, dia mengamuk dan bersikap lebih meledak-ledak daripada biasanya."

"Dia benar-benar berubah menjadi mercon," gerutu Virio. Ia menatap Rosie tak senang. "Kau juga, sih. Kenapa tak bilang-bilang pada Difa saat hendak memasuki Parasys?"

"Dia akan melarangku masuk ke sana mentah-mentah." Rosie menghela napas. "Hal terakhir yang ingin kudengar saat itu adalah larangan. Aku tak seberani itu masuk ke dimensi yang mampu melenyapkan lebih dari separuh negara di bumi."

PostludeWhere stories live. Discover now