2. Rosie, dalam Bus

21 8 1
                                    

Rosie Zoule selalu percaya ia harus jadi anak baik demi mendapat hidup yang baik. Setelah yakin sudah jadi anak baik, ia percaya ia berhak mendapat hidup yang baik.

Anak baik dalam definisi Rosie adalah anak yang tunduk pada norma-norma, hormat pada orang tua dan guru, mengerjakan tugas sekolah sebaik mungkin, serta menjunjung tinggi keadilan dan kerukunan antar umat manusia. Rosie sudah berhasil dalam tiga poin pertama. Yang terakhir masih megap-megap lantaran dia bukan pemberani. Sering Rosie mengutuki diri gara-gara sungkan menegur orang yang buang sampah sembarangan atau menegur teman-temannya yang bekerjasama saat ujian. Ia ingin menjadi kesatria. Sayang, mentalnya masih mental budak.

Setidaknya aku tidak pernah melanggar hak orang lain. Rosie membela diri. Maka dari itu, orang lain juga tidak boleh melanggar hakku. Aku berhak hidup tenang.

Kombinasi moral yang tak berbanding lurus dengan keberanian ini melahirkan ego yang besar dalam diri Rosie. Ia tak suka penindas macam Geng Medpen, tetapi karena tak berani bertindak, rasa tidak sukanya terpendam menjadi rasa benci. Di sisi lain, ia semakin merasa tak pantas ditindas siapa pun. Jika ketakutannya terjadi ... Rosie takut sendiri akan berbuat melampaui batas untuk membalas mereka.

Aku bisa membunuh tujuh orang sekaligus kalau aku mau.

Rosie menggeleng, berusaha mengusir kalimat itu dalam kepalanya. Ia bergidik, sadar bisa berkata begitu karena ia memang mampu melakukannya. Tanpa memedulikan sesama penumpang bus atau pun pemandangan jalanan kota, Rosie yang duduk di dekat jendela menatap kedua tangannya.

Pernahkah aku membunuh orang? Tegakah aku membunuh orang? Tujuh orang sekaligus, pula ....

Akan tetapi, bukankah itu keren? Lakukan saja kalau ada bangsat yang berani-beraninya mencoba mengacaukan hidupku.

Rosie terkesiap. Kalimat itu muncul begitu saja dalam kepalanya. Keringat dingin terbit dari kening dan leher Rosie. Bahkan dalam pikiran, Rosie tak pernah berkata kasar! Lalu ide kejam macam apa itu? Mengapa suara hatinya tak menuntunnya pada kebaikan?

Apa dia benar-benar kerasukan?

"Kau tak apa-apa?"

Dua suara lelaki muncul dan lenyap secara bersamaan. Seperti terbangun dari mimpi, Rosie kembali menangkap realitas di sekelilingnya—embusan sejuk air conditioner; wangi lembut vanili dari pengharum ruangan; kerasnya kursi plastik yang ia duduki; derum rendah mesin bus; serta pertokoan dan rambu-rambu lalu lintas di jalanan.

Di antara semua sensasi itu, hanya ada satu informasi yang benar-benar baru, yakni dua anak lelaki yang berdiri berhadapan di dekatnya. Satu lelaki berseragam Medpen, berambut hitam rancung, dan bertulang pipi tinggi. Yang lain berseragam Sekolah Swasta Kilvoir, berambut cokelat kemerahan, dan bermata damar. Ekspresi mereka sama-sama tegang.

"Virio," ujar Gerriel dengan suara rendah. "Mau apa kau dengan murid dari sekolahku?"

"Hanya mau mengecek keadaannya," balas Virio menyeringai. "Hanya karena kau dan gengmu sering berlaku busuk, Gerriel, tak berarti orang lain juga demikian."

Rahang Gerriel berkedut. Virio mengabaikannya dan duduk di kursi di sebelah Rosie. Seringai dan semua tanda tak suka yang sempat ia tampakkan pada Gerriel lenyap. Alih-alih sebal, kini Virio tampak khawatir.

"Kau tak apa-apa? Tadi kau sempat menggigil. Apa kau demam?"

Rosie tak menjawab. Ia mengerjap menatap Virio, kemudian beralih pada Gerriel yang juga menatap cemas Rosie. Dua pemuda yang dikenal karena kekuatan, ketampanan, dan keberandalan mereka kini mencemaskan keadaannya. Rosie tahu ia berhak merasa terpuji. Situasinya kini membuatnya bak heroin dalam kisah cinta segitiga.

PostludeWhere stories live. Discover now