7. Gerriel dan Virio, dalam Distrik Perguin

19 5 3
                                    

Gerriel dan Virio mengerjap. Mereka lupa untuk apa mengejar Rosie Zoule. Keduanya berdiri di tengah jalan, saling menatap kebingungan. Pesepeda berkeranjang isi jeruk sudah mengayuh sepedanya entah ke mana.

"Kau kenal Rosie?" tanya Gerriel memecah keheningan.

"Kenal, mungkin." Virio menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mungkin?" Gerriel mencemooh. "Jawaban dari pertanyaan semacam itu hanya 'ya' atau 'tidak'. Mana yang benar?"

"Berisik," tukas Virio. Sebuah sepeda motor sport berkapasitas 250 cc lewat dan nyaris menyambar mereka. Gerriel dan Virio kontan mengumpat dan memaki pengendaranya bersamaan.

"Sebaiknya kita minggir," gerutu Virio. Ia masih menatap jengkel si sepeda motor yang kini hanya berupa titik di kejauhan. "Omong-omong, di mana kita?"

Gerriel menatap sekeliling. Mereka berada di antara kompleks perumahan dan toko-toko kecil. Setiap halamannya ditumbuhi pepohonan berdaun rindang yang bergoyang pelan tertiup angin. Langit mulai memerah dan bayangan memanjang ke arah timur. Di ufuk barat, tepat di bawah matahari yang hendak terbenam tiga jam lagi, berdiri siluet gagah Menara Biro Penyiaran.

"Kita di Distrik Perguin. Rumah Rosie di daerah sini."

Gerriel pernah mendengar Rosie berkelakar bahwa ia bisa mencuci otak seluruh penghuni Prisna via Menara Biro Penyiaran. Rosie bilang ia bisa melakukannya hanya dengan melihat dan mengoperasikan bangunan itu dari kamarnya sendiri. Kedengaran bodoh, tetapi saat itu Gerriel menelan mentah-mentah bualan Rosie gara-gara takut. Rosie kelihatan siap membunuh tujuh orang waktu itu. Ia juga tidak terdengar seperti orang yang berkelakar.

"Ah, iya." Virio menjentikkan jari sambil menatap Menara Biro Penyiaran. Ia ingat Rosie pernah mengancam akan mencuci otak seluruh penduduk Prisna menggunakan bangunan itu tanpa meninggalkan kamarnya. "Ia mengatakannya saat mengancam akan membunuh kita dan kelima teman begundalmu, eh? Waktu itu aku iya-iya saja karena waswas dengan reaksinya kalau aku bilang tak percaya."

Keduanya tersentak. Kepala mereka tertoleh pada satu sama lain.

"Kau di sana? Tidak, kau memang ada di sana!" Gerriel menunjuk Virio seperti menunjuk hantu.

"Ya. Kita sudah mengalami hal yang sama dan semuanya ada hubungan dengan Rosie Zoule." Virio memijat dagu lalu mendengkus. "Aneh. Hanya beberapa menit yang lalu aku merasa aku tidak membencimu separah sebelumnya."

"Sama. Aku bahkan merasa kita sama-sama berada di pihak yang sama."

"Pihak yang sama? Melawan siapa? Gengmu? Atau Rosie Zoule?"

"Dua-duanya."

Keduanya terdiam lagi sebelum memijat-mijat kepala.

"Aneh. Aneh. Aneh." Virio meringis. "Semestinya aku tidak pernah kenal gadis itu."

"Sama seperti yang kupikirkan. Semestinya tidak pernah ada apa-apa antara aku dan Rosie meski kami sekelas."

"Aku semestinya membencimu. Kau dan gengmu memuakkan. Kau terutama."

"Kenapa aku?" Gerriel merasa déjà vu. Ia pernah mendengar Virio mengungkapkan hal yang sama padanya.

"Kau sebetulnya tidak seburuk mereka. Aku tak sengaja melihatmu membantu seorang nenek dan cucunya yang masih kecil menyeberang jalan tempo hari. Kau bahkan membantu mereka membawakan belanjaan."

Sensasi ditusuk menembus dada Gerriel. "Tak usah diteruskan—"

"Pada waktu yang lain, akulah yang bertemu dan menolong si cucu." Virio mengeraskan suaranya. "Kulakukan itu karena ia sedang menangis di hadapanmu dan gengmu. Kalian memalaknya. Ralat—gengmu memalaknya. Kau mungkin tak berbuat apa-apa, tetapi dari sikap diam dan posisimu yang bersisian dengan mereka—"

PostludeWhere stories live. Discover now