3. Gerriel dan Virio, dalam Amukan

20 8 2
                                    

Gerriel dan Virio membeku. Rosie melewati mereka begitu saja dan turun dari bus. Ketika mereka tersadar, mereka tahu sudah terlambat. Bus melaju kencang tak lama setelah pintu yang dilewati Rosie tertutup keras.

"Rou! Berhenti!" teriak Virio pada si sopir. Gerriel tak mau kalah. Sambil berpegangan pada gantungan demi gantungan, ia maju ke depan bus. Virio menyusulnya. Meski terhuyung, mereka berjalan terburu-buru tanpa memedulikan penumpang lain. Sesekali keduanya bersenggolan dan saling menyikut.

"Minggir," gertak Gerriel. "Kau menghambat."

"Kau yang menghambat," balas Virio. Hampir saja terjadi baku hantam kalau dua-duanya tak ingat tujuan mereka berlomba ke depan bus.

"Tolong hentikan busnya," sengal Gerriel sambil mengusap rusuknya yang disikut Virio. Sementara itu, Virio membelai-belai pipinya yang merah gara-gara toyoran Gerriel. "Saya harus menyusul gadis tadi."

"Tidak bisa," balas si sopir tak acuh. Ia bahkan tak balas menatap Gerriel dan Virio. "Bus hanya bisa berhenti di halte."

"Berapa jarak halte berikutnya?" sambar Virio.

"Dua kilometer lagi."

"Saya tak bisa menunggu selama itu!"

"Bukan masalahku," jawab si sopir datar. "Taati peraturannya."

Telunjuk si sopir terarah pada stiker yang memuat peraturan bus kota sebelum kembali menempel pada kemudi. Gerriel menggertakkan gigi dan Virio mengepalkan tangan. Salah satu poin peraturan adalah melarang bus berhenti di tempat lain selain halte.

"Memangnya cewek itu siapa, sih?" Salah satu penumpang iseng bertanya. "Cewek rebutan kalian?"

"Diam," bentak Gerriel dan Virio bersamaan.

"Kalau memang dia begitu penting, kejar dia mati-matian," cela penumpang lainnya. "Bukan membatu seperti orang bodoh."

"Aku melihat mereka ketika gadis itu hendak turun." Penumpang ketiga bersuara. "Mereka hanya diam seperti disihir. Setelah turun baru ribut. Mengganggu sekali."

"Kalian kira dunia hanya milik kalian?" Penumpang keempat memandang Gerriel dan Virio penuh cela. "Bersikap seenaknya. Menyuruh-nyuruh orang seenaknya. Anak-anak menjijikkan."

"Dasar tak tahu malu."

"Egois."

"Kurasa cuma tampang mereka yang bagus. Sisanya nol."

"Kalau aku punya anak seperti mereka, sudah kukurung di penjara bawah tanah."

"Berani taruhan, gadis tadi sebenarnya korban mereka juga."

"Kalian apakan gadis itu, anak-anak berengsek?"

"Gadis yang malang. Tak heran dia kabur."

"Dipikir-pikir, tampang mereka memang pas jadi perundung ulung."

"Pantas mereka bersikap seolah dunia tunduk pada titah mereka."

Bergantian, seluruh penumpang bus mencela Gerriel dan Virio. Semua celaan itu perlahan berubah menjadi tawa merendahkan. Semakin lama tawa itu semakin keras. Bahkan sopir bus yang tak ikut-ikutan mencela tertawa dengan suaranya yang rendah.

Gerriel dan Virio tak lagi membalas. Setiap lontaran kata para penumpang bus serasa menusuk organ-organ penting tubuh mereka. Keduanya gemetaran. Kekesalan lantaran tak bisa segera turun hilang tak berbekas.

Mereka sadar mereka pantas menerima ucapan-ucapan itu.

"Kalau mereka mau turun, turunkan saja sekarang!" teriak penumpang keempat.

PostludeWhere stories live. Discover now