8. Medpen Trio, dalam Reuni

20 4 2
                                    

Telepon dengan Difa berakhir sudah. Masih terguncang, Rosie menyelipkan ponselnya ke saku rok seragam. Ia merasa terombang-ambing dalam dua kondisi—tenang setelah menumpahkan isi hati pada sahabatnya; gelisah kala menyadari situasi yang ia hadapi tengah menjebaknya.

Ya, Rosie yakin ia sedang dijebak. Tak mungkin ia berada dalam keanehan ini dengan sendirinya. Diabaikannya Rou Olfi yang masih berkutat dengan topiari. Didiamkannya Ruan Warda yang masih membersihkan lantai atas. Rosie tidak mau berinteraksi dengan kedua pegawai rumah tangganya dulu. Setidaknya, tidak dengan Rou Olfi dan Ruan Warda yang ini. Selama beberapa saat, Rosie menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon Diame. Jawaban "tidak" segera terbisik di benaknya. Kalau Diame ikut bertingkah aneh, itu akan membuat suasana hati Rosie semakin buruk saja.

Angka digital pada jam dinding ruang tengah menunjukkan pukul 16.00. Satu jam lagi sebelum Diame pulang dari kantor. Rosie belum siap bertemu ibunya, tidak sekarang. Tanpa pikir panjang ia meraih ransel, membuka pintu, lalu pergi meninggalkan rumah. Ia bahkan tak ingat untuk pamit atau mengecek kudapan sore yang sudah disiapkan. Ia yakin, Ruan Warda dan Rou Olfi yang ini tak akan peduli pada semua itu.

Rosie berjalan linglung menjauhi rumah. Nyaris tak ia rasakan angin yang menyibak rambut sebahunya yang bergelombang. Sinar matahari sore yang menyilaukan seolah tak pernah menimpa irisnya. Rosie tidak tahu harus apa dan ke mana. Percakapan dengan Difa di telepon tadi membuatnya gamang.

Difa bilang aku bisa melalui ini dan bilang aku selalu terlibat hal besar. Apakah aku sedang terlibat hal besar lagi?

Nuraninya berkata "ya" walau ia tak ingat hal besar apa sedang ia hadapi ... atau semua hal besar yang pernah ia hadapi. Rosie menggeram. Ia melepas ransel dan membantingnya ke tanah. Rasa frustrasi ini tak asing. Ia pernah merasa seperti ini, saat sesuatu yang gawat terjadi dan dia tak bisa apa-apa bahkan hanya untuk minta tolong. Rosie jatuh berlutut lalu menggosok rambutnya keras-keras.

Berpikir! Berpikir! batin Rosie memarahi diri. Ayo berpikir! Untuk apa kau di sini? Apa yang harus kau lakukan? Hal besar apa yang sedang dan pernah kau hadapi? Ayo ingat!

Namun, memori Rosie menolak bekerja sama. Alih-alih sebuah adegan, datang emosi entah dari mana datangnya. Perasaan bersalah melingkupi gadis itu dari kepala hingga kaki, mendorongnya berusaha sekuat mungkin menebus kesalahan-entah-apa-itu. Gemas, Rosie mulai memukul-mukul kepalanya sendiri. Jika ia tak bisa ingat apa-apa, bagaimana bisa ia melakukan apa yang semestinya ia lakukan?

"Rosie!"

Dua suara berbeda memanggilnya. Suara laki-laki. Rosie tahu persis siapa mereka. Tanpa repot-repot menyaring kata, Rosie mengumpat keras-keras. Dia tidak mau bertemu siapa-siapa. Semua orang di sini terus-terusan membuatnya merasa lebih buruk—

Jangan kabur. Jangan takut bicara dan membuka hati pada mereka.

Niat Rosie untuk lari langsung luruh. Ia akan menuruti saran Difa. Bukankah Difa bilang Rosie tak akan menyesali menuruti nasihatnya yang satu ini? Perlahan dan hati-hati, Rosie berbalik menghadap Gerriel dan Virio. Ditatapnya kedua pasang mata pemuda itu tanpa berkedip. Sesuatu yang hangat menyelusup ke dalam dadanya. Binar dari mata Gerriel dan Virio menandakan kedua pemuda itu hidup ....

Tunggu, kenapa aku merasa seperti ini? Rosie bingung sendiri. Memangnya nyawa dua orang ini terancam?

Sebelum Rosie sempat mengutarakan apa pun, Gerriel dan Virio sudah bicara lebih dulu. Sambil merundukkan pandangan, keduanya berucap, "Maaf—"

Spontan Rosie mengangkat kedua telapak tangan. Ia merasa salah menerima permintaan maaf mereka. Begitu Gerriel dan Virio berhenti bicara, Rosie membungkuk dalam-dalam dan membalas, "Maafkan aku."

PostludeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang