"Oiruela" oleh Methy Ursyll - Bagian I

18 6 0
                                    

Ketika aku kehilangan Ajhim, aku kira aku sudah kehilangan segalanya. Keluargaku. Semangatku. Alasanku untuk tetap ada di dunia.

Aku tak punya siapa-siapa lagi. Echna* sudah berpulang lebih dulu. Kakak-kakakku tewas terkena wabah kolera. Adik bayiku mati untuk alasan yang sama. Dulu aku sering berpikir, paling tidak aku punya Ajhim. Sekarang aku tak bisa berpikir begitu lagi.

Setelah kami hidup berdua selama tiga puluh tahun, Ajhim ikut meninggalkanku ke alam barzakh. Ia menyusul Echna, kakak-kakakku, adik bayiku, seluruh keluargaku. Ini membuatku marah. Bagaimana mungkin mereka sampai hati meninggalkanku menjadi manusia sebatang kara? Ajhim, Echna, dan kakak-kakakku selalu bilang mereka akan selalu ada untukku. Mereka akan terus melindungiku. Mereka akan terus membimbingku. Mereka akan terus mengayomiku.

Lantas sekarang di mana mereka?

"Pembohong!" Aku berteriak pada langit dan ombak. Mereka bersikap masa bodoh, tentu. Langit terus menurunkan hujan deras, mengirim petir ke bumi, dan mengirim angin kencang yang menampar setiap inci kulit dan rambutku. Ombak pun sama saja. Di bawah tebing terjal tempatku berdiri, ia terus mendeburkan diri ke dinding karang, memecah menjadi milyaran buih sebelum kembali menghantam setiap batuan yang ia temui.

Keluargaku tak peduli. Alam pun tak peduli. Percuma aku mendedikasikan hidupku menjadi cendekiawan. Keluargaku yang ingin kubanggakan tak bersamaku lagi. Alam yang bertahun-tahun kupelajari tak hirau dengan penderitaanku. Aku yakin, tak akan ada yang menghalangiku menceburkan diri ke ombak. Tak akan ada yang kehilangan diriku sekalipun aku tenggelam dan mati ....

"OOOIII! APA YANG KAU LAKUKAN DI SANA?"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Ah, aku pasti berhalusinasi. Di tebing terpencil ini, di tengah badai pula, mana ada orang selain diriku. Apalagi suara itu memanggilku. Tidak mungkin. Ini hanya halusinasi. Aku selalu sendirian. Tak ada yang peduli padaku.

"OOOIII!"

Aku sudah siap melangkahkan kaki melewati tebing. Ya, ini saatnya. Tuhan mungkin selalu ada untukku, tetapi kenyataan bahwa tak ada manusia yang bisa kusentuh setelah Ajhim pergi terlalu menyakitkan bagiku. Oh, Tuhan, kuharap Engkau mengampuniku. Engkau Yang Maha Tahu, pasti mengetahui hidup sendiri terlalu perih untuk kutanggung ....

"SIAL!"

Suara itu mengumpat tepat saat kedua kakiku tak lagi menapak tebing. Berikutnya, aku ditangkap dan ditinju. Sesuatu seberat dua pon menghantam sebelah pipiku sampai aku dipaksa menolah ke satu sisi. Langit masih mengirim hujan dan petir. Ombak masih mengamuk.

Ciptaan Tuhan mana lagi yang masih peduli padaku?

"AKU, BODOH! AKU!" Suara dalam halusinasiku berteriak begitu dekat. Gendang telingaku hampir pecah karenanya. "DARI TADI AKU TERUS MEMANGGILMU! KENAPA KAU TAK MENJAWAB? ANAK BODOH!"

Tenaga yang tadi meninju pipiku kini mengguncang-guncang seluruh tubuhku, kuat sekali. Tubuhku yang berbobot 155 pon tergoyang-goyang dari kepala sampai kaki seolah aku hanya bantal kapuk. Aku takut sampai memejamkan mata erat-erat. Anehnya rasa sedihku hilang tak berbekas. Suara ini bukan halusinasi. Di atas itu, ia mengkhawatirkanku.

"JANGAN DIAM SAJA! TATAP DAN JAWAB AKU!"

Kuberanikan diri membuka mata. Langit masih mengirim hujan dan petir. Ombak masih mengamuk. Namun, alih-alih kelam yang kudapat, aku melihat harapan baru.

Aku melihat Ajhim.

*bersambung*

Catatan Penulis:

Echna = panggilan untuk ibu dalam Bahasa Bourland

Terima kasih sudah membaca,

Renna

PostludeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora