11. Medpen Trio, dalam Rekonsiliasi

39 4 5
                                    

"Aku tidak bangga melakukannya." Mata Rosie berkaca-kaca. "Sungguh, aku merasa seperti monster setelah pulang dari kantor polisi. Aku ingin jadi pemberani, tetapi bukan pemberani seperti itu. Aku tak pernah mau jadi monster."

Rosie mengusap matanya. Ia duduk bersama Virio, Gerriel, dan Eistaat Ulisia dalam ruang rapat di markas MN-5. Setelah saling meminta maaf, mereka saling mengungkapkan perasaan dan pemikiran pada saat kejadian-kejadian tak menyenangkan di antara mereka terjadi.

"Aku juga minta maaf." Ulisia berkata lirih. "Semua itu tak akan terjadi jika aku tak bertekad menyembunyikan diri."

"Anda menanggung 22 juta nyawa warga Ulisia, Rou," ucap Gerriel. "Anda sudah melakukan yang seharusnya. Ayah saya dan Prani Vicella pasti setuju."

"Bisa saya bayangkan kata-kata ibu saya kalau ia mendengar Rou barusan." Virio lalu meninggikan suara menirukan ibunya. "Tak sepantasnya Eistaat merasa bersalah gara-gara ulah bodohmu! Ini gara-gara kau membiarkan dirimu besar kepala sampai tubuhmu tak kuat menyangganya!"

"Prani Vicella sanggup berkata begitu padamu?" Rosie bergidik. Amarah Diame memang bukan hal yang asing bagi Rosie, tetapi Rosie tak pernah mendengar Diame berkomentar kasar padanya.

"Sebagai anaknya, aku tak heran lagi, tetapi Itu bukan apa-apa dibanding Gerri. Pranu Vaeglu"

Virio memekik kesakitan dan mengusap-usap kakinya. Gerriel memelotot dan berkata tajam, "Bukan apa-apa. Pa cuma sedikit marah."­

"Apa yang Pranu Vaeglu lakukan padamu?" tanya Rosie keras. Karena Gerriel diam saja, Rosie memerintah, "Jawab."

Trauma melihat wajah galak Rosie, Gerriel langsung menurut.

"Pa sempat mengusirku dari rumah. Tidak lama, hanya dua hari." Gerriel melanjutkan buru-buru saat Rosie membelalak ngeri. "Selama itu aku tinggal di tempat Virio. Ibu Virio menghubungi ibuku dan pembicaraan di antara para orang tua berhasil membujuk Pa agar menerimaku kembali. Tidak apa-apa, Rosie. Aku pantas mendapatkan hukuman itu."

"Aku sudah menghukum kalian. Semestinya kalian tak dihukum lagi."

"Tidak juga. Aku merasa sebanyak apa pun hukumannya tak akan bisa menebus kesalahanku." Gerriel terdiam sejenak. Di sebelahnya, sinar mata Virio meredup.

"Sepakat."

Hening yang menyesakkan menyusul sebelum dipecahkan Ulisia. "Sungguh luar biasa bahwa tak satu pun di antara kalian yang menyalahkanku."

"Kami sudah" Virio hendak bicara, kemudian berhenti saat melihat ekspresi Ulisia. Rosie kenal benar ekspresi itu. Ia pernah menyaksikan Bourland memasang ekspresi yang sama di Parasys ketika sang Eistaat tertua menyesali Peraturan yang digagasnya sendiri.

"Mungkin sebaiknya kita sudahi saja pembicaraan ini," ujar Rosie, menjaga agar suaranya terdengar halus alih-alih otoritatif. "Semua orang berakhir menyalahkan diri. Ini tidak bagus. Yang sudah terjadi ya sudah."

Ulisia mengangguk dan tersenyum lemah. "Kau benar. Aku bangga padamu, Nak. Kadang-kadang manusia bersikap lebih bijak daripada Eistaat seperti yang kau tunjukkan kini. Tim Razeloz mengutarakan hal serupa semalam, omong-omong. Mereka ramai-ramai menitipkan salam padamu, berkata kalau bukan karenamu, mereka mungkin sudah saling bunuh gara-gara permen kupu-kupu."

"Eh ... apa?" tanya Gerriel kebingungan. Virio memasang tampang seolah Ulisia baru saja menunjukkan efek dari jamur tahi sapi yang ia konsumsi diam-diam.

"Banyak hal gila di Parasys." Rosie mengangguk-angguk maklum. "Para Eistaat tak tahu kalau saja tubuhku berfungsi normal di sana, entah sudah berapa kali aku mengompol saking paniknya. Oh, aku benci tempat itu, tapi aku menikmati waktu bersama para Eistaat. Rou Ulisia, tolong sampaikan salamku juga pada mereka."

PostludeWhere stories live. Discover now