14 • SEBUAH RENCANA, MEMILIKI REALITA

96 3 0
                                    

HAI HAI

VOTE, KOMEN 👀

TANDAI TYPO, YAP!

HAPPY READING 🌷💗

14 • SEBUAH RENCANA, MEMILIKI REALITA

Jika hati dan waktu selalu memiliki cara untuk bekerja sama, akan ada satu hal yang tidak boleh terlewatkan nantinya. Aku ingin menjadi bagian dari jatuh cinta, yang di mana, dia-lah yang selalu menjadi alasan bahagianya.

•••

"Setan lo, Za! Minimal kalau mau bertamu, ketuk pintu, lah, apa lah! Bukannya bikin jantungan orang!"

Sedari tadi Deva tak berhenti memberi teguran untuk Iza. Kini kelima lelaki yang tadinya berada di depan rumah Deva telah berkumpul di dalam kamar lelaki itu. Namun, suasana tegang menyelimuti ruangan tersebut. Mendengar bagaimana emosinya Deva ketika mendapatkan kejadian konyol yang diperbuat oleh Iza. Membuat Ale, Tama, dan Zavi, juga ikut terkena semprot.

Iza tersenyum kikuk. "Maaf, Va. Lagian lo budek, sih. Kita udah teriak-teriak, ketuk pintu. Lo nggak dengar, 'kan?" ucapnya dengan alasan.

"Kan ada hp, Za! Lo bisa telfon gue. Atau nggak, pencet bel rumah! Ada, 'kan?" saran Deva dengan tatapan mengintimidasi. "Kalian juga ngapain nurut sama dia? Bukannya ngasih teguran, malah ikut-ikutan!"

"Sorry, Bos. Tadinya, gue, Zavi, sama Bang Tama, udah kasih terguran buat mereka. Tapi mereka tetap ngeyel. Jadi... ya udah." Ale menerangkan dengan jujur. Ditatap seperti ini, membuat nyalinya ikut ciut.

Deva menghembuskan nafasnya pelan. Tatapannya masih belum ia putuskan dengan Iza. Melihat Iza yang masih meringis kesakitan, membuat dirinya sedikit iba. Apalagi ketika lelaki itu menundukkan kepala, tak mau menatap dirinya. Deva mengulurkan tangannya pada Iza. "Sorry, gue udah nendang sembarangan tadi," ucapnya meminta maaf.

Iza mendongak-dengan rintihan yang masih ia rasakan. "Nggak akan gue maafin, kalau lo nggak ngasih gue makan!" Ia melipat kedua tangannya di depan dada, seraya mengangkat kaki kanannya dan diletakkan di atas paha kaki kiri.

Mendengar hal itu, Deva justru menonyor kepala Iza. "Lo pikir gue pelayan?!" responnya dengan sarkas.

Tama memijat pelipisnya. Kepalanya ikut berdenyut kala melihat perdebatan mereka. "Lo semua bikin gue pusing."

Deva yang sejak tadi belum menyadari kehadiran Tama, ia menoleh ke sumber suara. Lelaki itu segera menghampiri Tama yang duduk di atas kasur king size-nya. "Apa kabar, Bang? Lama nggak ketemu." Deva mengulurkan tangannya-memberikan salam ala-ala lelaki.

"Waduhh... ciri-ciri manusia yang hobi merendah untuk di bogem!" Tama membalas uluran tangan Deva.

"Gue yang gantengnya mengalahkan seisi dunia, diem," celetuk Iza memotong pembicaraan keduanya.

"Matamu, Za. Situasi kayak gini, masih sempat-sempatnya." Denta yang sejak tadi diam, kini membuka suara.

"Haus, Bos. Ngantuk gue." Ale mengkode agar Deva segera mengambilkan mereka minuman.

"Haha... Oke-oke, wait." Ia segera berlari keluar kamar. Mengambil beberapa camilan yang dimilikinya.

"Gimana cara ngomongnya?" Ucapan Zavi memecah keheningan yang terjadi setelahnya.

DEVAELUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum