"Gajiku akan dinaikkan?"

Seketika saja, Suran menoleh sambil menghela napas. "Hinata, bisakah kau berhenti bicara tentang gaji?"

"Kenapa? Lagi pula, aku memang pantas mendapatkannya. Aku sudah bekerja cukup lama padamu. Setidaknya, tambahkan lagi walau sedikit saja, sekaligus adakan bonus ketika mendekati hari Natal. Aku butuh uang lebih ketika saat-saat tertentu."

Tawa Hinata pecah ketika melihat ekspresi Suran yang sudah sangat menekuk.

"Bercanda. Tak perlu diambil terlalu serius."

"Aku memang mulai menganggapnya serius karena kau sudah mengatakannya beberapa kali dalam sebulan ini." Suran berdecih. Ia beralih duduk di sebelah Hinata. "Tunggu hingga aku benar-benar sudah sukses. Akan kujadikan kau bos di cabang butik lain."

Hinata kembali tertawa pelan.

"Sebenarnya, aku sangat ingin menaikkan gajimu, tapi, kau lihat sendiri, 'kan? Bisnis kita belum berjalan begitu lama. Pendapatan kita juga belum seberapa. Bersabar-sabarlah dulu. Jika butik ini sudah berpenghasilan besar, akan kuhadiahkan mobil ke tempatmu."

"Sebagai bonus hari Natal?"

"Tentu saja!"

Tak tahan, Hinata menggeleng -- merasa lucu. Berikut, ponselnya mendadak menandakan sebuah notifikasi pesan yang masuk.

Dari Matsuri, seseorang yang sama-sama bekerja dengannya sebagai pengajar les privat. Pesan ini berisi tentang permintaannya bertemu, dan membuat Hinata sedikit mengernyitkan kening.

Mungkin Hinata berniat untuk meng-iya-kan, hanya saja, jam kerjanya saat ini belum usai. Maka, ia menyarankan untuk melakukan pertemuan keesokan harinya.

.

.

Hinata yang telah rapi dengan setelan sederhananya dan mengambil tempat pada kafe yang telah ditentukan.

Matsuri cukup terlambat. Ini sudah memakan waktu lima belas menit dari rencana pertemuan.

Ketika baru saja hendak menghubungi kembali untuk memastikan, eksistensi seseorang yang baru masuk dari arah pintu depan, membatalkan niat Hinata.

"Maaf, aku terlambat. Aku harus mengemas barang terlebih dahulu sebelum lari ke sini."

"Mengemas barang?"

Matsuri menarik napas panjang. "Aku harus berangkat ke kampung halamanku hari ini. Ada urusan penting dan mendadak."

Hinata mengernyit. Sedikit tak paham apa hubungan dari kepergian Matsuri dengan dirinya.

"Lalu, ada apa kau ingin bertemu denganku?"

Seakan memang hanya karena topik inilah mereka bertemu, Matsuri segera meraih sebuah map yang berisikan beberapa lembar dokumen dan meletakan ke atas meja.

"Apa ini?"

"Hinata, aku ingin meminta bantuanmu."

Masih dengan rasa bingung yang sama, Hinata menunggu Matsuri untuk melanjutkan ucapan.

"Aku sudah menandatangani kontrak untuk mengajar seorang anak, tapi, karena urusan mendadak ini, aku terpaksa tak bisa melakukannya." Mata Matsuri memancarkan kesenduan setiap kali berbicara. "Kegiatan mengajarnya sudah akan dilaksanakan beberapa hari lagi, sedangkan aku harus berangkat hari ini dan belum pasti kapan akan kembali."

"Jadi?" Hinata bertanya.

"Jadi, karena kau juga menguasai Matematika, aku ingin kau bisa menggantikanku melakukannya. Tak perlu memikirkan tentang bayaran, kau bisa mengambil semua jika memang bersedia melakukannya. Aku hanya tidak ingin nama baikku menjadi rusak karena mendadak membatalkan perjanjian."

Sungguh, Hinata tak keberatan. Malah, ini sama dengan Matsuri membuka peluang baginya untuk memperoleh pendapatan baru setelah ia selesai kontrak dengan keluarga Uchiha.

Hanya saja, yang membuat Hinata cukup terkejut -- karena ini sangat tiba-tiba. Setidaknya, Hinata harus memiliki persiapan sebelum benar-benar melakukan pengajaran.

"Jadi, bagaimana? Kau mau?" Matsuri memandang penuh pinta. "Secara pribadi, aku berharap kau bersedia melakukannya. Aku tak tahu bisa meminta tolong pada siapa lagi dalam hal ini."

"Sebenarnya, aku tak keberatan, hanya saja--"

"Begini," Matsuri mendorong tumpukan kertas lain agar berpindah di hadapan Hinata. "Kau bisa melihat data orangnya dulu. Baru setelah itu memutuskan. Dari tampilannya, bisa dipastikan dia tak akan begitu menyulitkan. Dia terlihat seperti anak baik-baik yang bisa diatur dengan mudah."

Penuh ketelitian, Hinata membuka satu per satu tiap lembar yang tersedia. Pada halaman biodata, foto dengan tampilan gadis kecil berwajah cantik yang sedang tersenyum kecil -- terlihat bersama deretan data-data pribadi.

"Keluarga Alexander?" Wajah bertanya Hinata membuat Matsuri mengangguk.

"Ya. Alamatnya tertera di bawah."

Hinata bergumam kecil ketika berhasil menangkap semua keterangan.

"Jadi, Hinata, apa kau setuju?" Masih dengan sorot harap yang sama, Matsuri memandang tanpa berkedip.

Coba menimang, Hinata berdiam untuk sejenak.

Jika dipikir-pikir lagi, mungkin tak ada salahnya untuk menyetujui. Tak ada kerugian berarti yang Hinata terima, terlebih seperti apa yang Matsuri katakan sebelumnya, semua pendapatan boleh masuk secara penuh ke dalam kantong pribadinya.

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Apa?"

"Yang menandatangani kontrak adalah atas namamu, mereka mungkin tak akan percaya jika aku datang dan mendadak berkata akan menggantikanmu."

"Kau boleh membawa surat kontrak resminya secara langsung sebagai bukti." Matsuri menyodorkan selembar kertas lain yang tersimpan pada map berbeda. "Dengan begini, mereka tak akan meragukanmu. Aku juga akan mencoba mengkonfirmasi langsung pada mereka."

Segera, Hinata meraih dan sedikit membaca.

"Berarti, kau menyetujuinya, 'kan?"

Bersama senyuman, Hinata mengangguk pelan. Matsuri menghela napas pelan.

Setelah perbincangan singkat lainnya, Matsuri lekas pergi lebih dahulu karena harus mengejar keberangkatan.

.

.

.

Sehubungan dengan perjanjian pertemuan yang Matsuri katakan, Hinata telah datang langsung menuju kediaman Alexander, sesuai dengan penjelasan alamat yang telah diberikan.

Perumahan di daerah barat Kohona menjadi tujuan utama. Harus menempuh perjalanan cukup lama dari kediaman pribadinya bila ditempuh menggunakan taksi.

Di depan salah salah pintu, Hinata merapikan diri sendiri agar dapat memberi kesan yang baik pada pertemuan pertama. Setelahnya, ia menekan bel dan menunggu tanggapan.

Hinata memutar tubuh agar membelakangi pintu masuk, dan memandang jauh ke seberang jalan. Daerah perumahan ini bisa dikatakan cukup elit dengan fasilitas lingkungan yang sangat asri dan memadai. Rasanya, mata Hinata lumayan dimanjakan dengan pemandangan taman yang terbentang pada setiap sisi jalanan.

"Tunggu sebentar."

Tetapi, ketika suara itu terdengar, kedua alis Hinata jadi menekuk satu sama lain.

Suara ini sangat tak asing, tetapi Hinata menolak ketika coba mengingat di mana ia pernah mendengarkan.

Saat pintu di belakangnya terbuka, Hinata kembali membalikkan diri. Sialnya, kehadiran orang di sana telah membuat ia sangat terpaku.

Jika boleh mengiba, Hinata ingin mengungkapkan protes dan berlari pergi. Ia ingin menghilang dan membawa diri sejauh mungkin agar tak terlihat.

Tapi, Kenapa? Kenapa takdir seperti ini?

Sungguh, ia tak menduga bila Naruto yang akan hadir di hadapannya.






Bersambung ...

Lah, kok?

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now