Bab 57

53 12 7
                                    

Suasana persidangan membuatku mual.

Kami melaksanakan persidangan di ruangan terbuka agar naga-naga Andarmensia dan Dracaelum bisa turut hadir. Bisa dibilang, ini persidangan terburuk dalam hidupku, terlebih karena aku seperti kembali ke masa-masa persidangan Immy dan terpaksa melihat temanku dihujat dalam diam oleh orang-orang yang hadir.

Dia tidak melakukan ini! Ingin rasanya aku meneriakkan kata-kata tersebut. Namun, pada saat bersamaan aku tidak bisa membantah fakta bahwa ada bagian dari diri Rufus yang menginginkan semua itu terjadi.

“Aku tidak yakin bisa menyaksikannya,” ujarku, lirih.

Dari samping, Ben meraih tanganku dan memijat buku-buku jariku. “Ini akan segera berakhir,” hiburnya. “Apa kau mau kuantar ke Beast?”

Aku menggeleng. Kini Beast berada di barisan belakang bersama naga-naga lainnya. Kalau dia tahu aku merajuk seperti sekarang, dia akan langsung membawaku pergi tanpa basa-basi. Padahal di satu sisi aku harus mendengar sendiri apa yang akan terjadi dengan Rufus. Pihak dewan Andarmensia merundingkan hukuman yang akan diterima pemuda tersebut bersama anggota Fittwen dari Dracaelum. Kuharap aku diundang hadir, tapi sayangnya kedua kubu bisa mengurus masalah ini dengan cara mereka sendiri. Entah keputusan akhir macam apa yang perundingan itu hasilkan.

Tepat pada pukul delapan pagi, persidangan baru benar-benar dimulai. Melihat Rufus datang dari kejauhan di bawah pengawalan beberapa penjaga membuatku meremas ujung pakaianku. Aku menanti makian atau seruan mencemooh, tetapi tidak ada yang terjadi. Suasana sunyi senyap, bak tangan-tangan tak kasatmata yang mencekik secara diam-diam.

Kepala Rufus terus tertunduk. Dari tempatku sekarang saja aku sudah bisa melihat tubuhnya yang gemetar hebat. Gemerincing suara borgol dan bisik-bisik bernada amat rendah menjadi pengisi keheningan. Aku baru bisa sedikit bernapas lega saat persidangan dibuka oleh Mr. Lormant, dilanjutkan dengan agenda utama kami.

"Rufus Xavier Stone," Mr. Lormant membaca namanya. "Kau didakwa melakukan pelanggaran berat di Andarmensia melingkupi usaha pembunuhan massal dan penyalahgunaan sihir. Apa kau menyangkal hal tersebut?"

Rufus menggeleng. "Saya tidak menyangkalnya."

Mr. Lormant mengangguk. "Pihak dewan Andarmensia dan pihak Fittwen dari Dracaelum telah mempertimbangkan hukuman bagimu. Dari yang semula hukuman mati menjadi pengasingan seumur hidup."

Rufus mengangkat kepalanya dengan cepat. Semua orang pun menoleh ke arah Mr. Lormant seakan pria itu sudah gila.

“Tidak ada komunikasi ataupun interaksi yang diperbolehkan untuk alasan apa pun,” tegas Mr. Lormant. “Hukuman ini juga tidak akan diringankan untuk alasan apa pun.”

Terlepas dari protes yang perlahan merebak dari orang-orang sekitar, palu sudah terlanjur diketuk. Tidak ada lagi yang bisa membatalkannya. Para penjaga menyeret Rufus pergi dengan cepat. Sekilas pandangan kami sempat bertemu, tetapi Rufus sudah terlanjur menjauh.

Aku tidak tahu kenapa aku berdiri dengan tergesa, lalu segera mengejar Madam Jackson dan Mr. Lormant sebelum mereka memasuki gedung.

“Sir, ma’am!” Ketika mereka berhenti, aku segera mengerem langkah dan mengatur napas. “Bi-bisakah saya bicara sebentar dengan kalian?”

Kupastikan tidak ada orang di dekat kami yang menguping sebelum melanjutkan, “Apa dia harus diasingkan seperti itu?” aku bertanya pelan. “Kita tahu dia tidak-–”

“Ini sudah keputusan terbaik, Miss Adams,” Madam Jackson segera memotong ucapanku. "Memangnya hukuman macam apa yang seharusnya dia terima?"

"Kita bisa menugaskannya untuk pelayanan sosial," usulku. "Atau kita bisa mengembalikannya ke Bumi dan—-"

Mr. Lormant mendenguskan tawa sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. "Setelah semua yang dia lakukan, dia bersyukur tidak langsung dieksekusi atau disiksa. Pengasingan ini bukanlah apa-apa baginya."

"Miss Adams, keputusan telah dibuat," Madam Jackson menegaskan, tidak memberi celah untuk negosiasi sedikit pun. "Hormatilah hal tersebut."

Kalimat tadi menjadi akhir dari percakapan. Mr. Lormant duluan melanjutkan langkahnya. Madam Jackson memberiku tatapan prihatin, seolah dia tahu beban apa yang kupikul saat ini. Sayangnya, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk meringankan beban tersebut.

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

Rufus akan segera dibawa ke pulau di lepas pesisir Felgen. Aku menghampirinya tepat sebelum para penyihir membawanya pergi. Dalam keadaan seperti ini pun, Rufus masih saja mengulas senyum.

"Hai, Cass," sapanya. "Senang melihatmu."

Aku tidak tahu apakah Rufus benar-benar setenang itu atau dia hanya berusaha menutupi perasaannya yang sesungguhnya.

Aku turun dari Beast dan berjalan mendekatinya. Karena tidak tahu apa yang harus disampaikan, kami terdiam cukup lama. Satu-satunya yang interaksi yang terjalin hanyalah tatapan kami.

Aku tahu aku gagal memenuhi tugasku. Seharusnya Rufus dan Naga Agung berdamai, kemudian kembali ke kehidupan masing-masing. Seharusnya keadaan tidak menjadi seperti ini. Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya. 

"Seandainya permintaan maaf cukup untuk semua yang sudah kulakukan," Rufus duluan bicara, diselimuti kepahitan tatkala mengingat segala sesuatu yang terjadi. "Tapi, kurasa kata 'maaf' tidak berarti lagi. Maka dari itu, aku ingin berterima kasih atas bantuanmu."

Aku mendesah jengkel sekaligus tidak habis pikir pada ucapannya barusan. Bisa-bisanya dia malah berterima kasih padaku?

"Tidak ada yang kulakukan, Rufus."

"Kau membebaskanku," dia mengingatkan. "Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan diriku dari cengkraman sihir itu, tapi kau melakukannya, dan tidak ada yang membuatku jauh lebih bersyukur daripada semua yang telah kau perbuat."

Ketulusan dalam kata-katanya terlalu nyata untuk sandiwara semata. Aku bahkan bisa melihat kelegaan di mata Rufus.

"Aku tahu kau bukan orang jahat," aku berkata setelah terdiam lama. "Kau hanya… mengambil keputusan yang salah."

Rufus tertawa kecil. "Sama seperti dulu, Cass," ujarnya. "Dan semoga setelah ini, aku tidak perlu lagi melakukan hal serupa."

Para penyihir yang bertugas membawa Rufus pergi sudah terlihat agak tidak sabaran. Waktu kami menipis dan aku tidak ingin keraguan membuatku menyesal di kemudian hari. Oleh karena itu, aku melangkah maju dan memeluk Rufus.

"Selamat tinggal," bisikku. Aku memejamkan mata rapat-rapat, menahan isak tangis yang sudah menanti di ujung tanduk. Rufus menyandarkan kepalanya pada bahuku. Tangannya yang terborgol ke belakang tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi dia memberiku balasan lirih.

"Selamat tinggal, kawan lama."

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now