Bab 2

108 20 16
                                    

Matumaini tidak banyak berubah. Perbedaan yang tampak oleh mata hanyalah jalinan rantai baru di sekeliling arena latihan beserta wajah-wajah yang tak lagi kukenali.

Kami tiba sekitar pukul sebelas, yang mana menjadi masa cukup sibuk bagi para penunggang muda. Di segala penjuru, semua orang sedang mengikuti kelas masing-masing, dibimbing oleh para pengajar. Di atas kami pun, beberapa penunggang sedang belajar kelas formasi.

"Aku paling benci kelas formasi," Kaia menggerutu sambil mendongak ke atas, mengamati para naga yang tengah mengikuti arahan instruktur dan membentuk pola sesuai kode peluit.

"Karena para naga harus ikut belajar dan menghapal?" tebak Beast.

"Ya. Kuduga kau membencinya juga."

"Itu kelas terburuk," nagaku membenarkan.

Kedua naga itu menunggu di wilayah yang lebih luas supaya tidak mengganggu pergerakan siapa pun. Aku dan Ben menyusuri jalan menuju bangunan utama. Pertama-tama kami harus menyerahkan surat pernyataan bahwa kunjungan akan dihentikan untuk sementara waktu. Setelahnya, aku harus membahas ulah salah satu penunggang yang nakal itu.

"Tidak terasa, ya, Cassie?" Ben menyeletuk. "Sudah tujuh tahun."

Aku mengangguk kecil. "Itu waktu yang lama."

"Sangat lama." Dia tersenyum ke arahku, menatap lebih dari beberapa detik tanpa mengatakan apa-apa.

Kubalas tatapannya itu dengan bingung. "Kenapa, Ben?"

"Tidak. Hanya ingin melihatmu."

Langsung saja aku mendecakkan lidah. "Kau melihatku hampir setiap hari, dan tidak perlu senyum-senyum begitu!"

"Baiklah." Dia memalingkan pandangan ke depan dengan senyum lebarnya, sementara aku berusaha memasang wajah tegasku, tidak ingin ikut tersenyum-senyum sendiri.

Kebetulan Roan Sandergun, pemimpin di Matumaini, sedang berada di luar bangunan utama bersama naganya. Pria itu asyik menggaruk kepala naga infernosnya dengan penuh kasih sayang, membuat sang naga mendengkur nyaring bak kucing raksasa.

"Mr. Sandergun," aku menyapa. Sang naga infernos langsung menatapku tajam, terang-terangan memprotes kehadiran kami yang mengganggu.

"Ah, Cassidy dan Ben." Dia menepuk-nepuk sisi kepala naganya sambil menyambut kami. "Aku bisa menebak kenapa kalian datang."

"Sebenarnya, ada dua hal," ujarku. "Akan lebih baik jika kita bicara di dalam."

Kami bertiga memasuki ruang kerja Roan dan aku menyampaikan perkara kunjungan yang terpaksa ditunda. Dahi pria itu mengerut dalam sebagai reaksi dari pembatalan sepihak tersebut.

"Kalau Anda bertanya-tanya, kami tidak tahu apa masalahnya," kataku di akhir cerita. "Naga Agung tidak memberi tahu."

"Kalau begitu apa boleh buat." Roan mendesah pelan. "Para penunggang akan kecewa, tapi memang sebaiknya kita tidak ikut campur. Apa ini berarti kalian harus membatalkan semua rencana kunjungan hingga bulan-bulan berikutnya?"

"Untuk saat ini hanya bulan depan, sir," jelas Ben. "Kami akan melihat apakah ada informasi lebih lanjut atau tidak sebelum memutuskan untuk memperpanjang penundaan."

Seluruh percakapan itu, ditambah sesi pemberian nasihat kepada si anak dan naganya, memakan waktu sekitar setengah jam saja. Ben tidak terlalu pandai mengomeli orang. Aku bisa melakukannya, tapi berhubung aku harus memilah kata dengan baik, alhasil banyak hal yang tidak bisa kusampaikan. Mungkin Beast akan melakukan ini dengan lebih baik, tetapi membiarkan nagaku mengoceh akan menjadi kesalahan besar dan menimbulkan trauma mendalam bagi penunggang serta naga muda tadi.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now