Bab 34

65 13 15
                                    

RUFUS

Sekarang apa?

Kematian seharusnya memberi Rufus kepuasan. Dia tidak butuh orang-orang yang menentangnya hidup di dunia ini. Rufus sudah muak dengan sosok-sosok semacam itu.

Seharusnya Cassidy tidak perlu menjadi orang semacam itu.

Rufus menggeram tidak jelas, terus memikirkan nasib gadis itu. Bukankah seharusnya Rufus menyelamatkannya dari pengaruh Naga Agung? Sekarang dia malah membunuh Cassidy, apa ini artinya dia sungguh menjadi penjahat?

Tentu saja tidak, sebuah suara berbisik dalam benaknya. Kau melakukan hal yang benar. Setelah semua kebaikanmu terhadap Andarmensia, dia malah berkhianat dan menentangmu seperti orang-orang lainnya. Dia pantas disingkirkan.

Dahi Rufus mengerut dalam. Dia berhenti berjalan mondar-mandir. "Tapi—-"

Rufus mengerang tatkala denging di kepalanya bertambah nyaring.

Tapi itu salah! sisi lainnya memberontak. ITU SALAH! KAU PEMBUNUH!

Denging tadi bertambah nyaring. Rufus tersungkur tatkala berjuang mengendalikan beban tak kasatmata yang menimpa tubuhnya saat ini.

Kau tidak salah, suara lainnya meyakinkan. Kau membuat pilihan yang tepat.

"Dia pantas mendapatkannya," Rufus berucap lirih. "Dia pantas."

Sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Rufus kembali berdiri. Sewaktu mengangkat kepala, tatapannya terarah pada sosok naga yang masih terbaring lemah di dekat dinding gua. Kedua sayapnya yang telah terpotong pun tidak berpindah posisi.

Agnar masih berani membalas tatapannya di tengah situasi seperti ini. Rufus tidak tahu kekuatan apa yang dimiliki naga itu sehingga mampu melihatnya tepat di mata.

"Kenapa, Agnar?" geram Rufus. "Kau senang sudah membuatku seperti ini?"

Semua ini salahnya.

"Karena kau, aku terpaksa melakukan ini," Rufus menuduh seraya berjalan ke arah sang naga. Tatapan Agnar terus mengikutinya. "Sekarang sudah berakhir, Agnar. Satu-satunya orang yang tersisa; yang peduli padaku dan bisa memahamiku, kini dia sudah tiada."

Rufus mengumpul kekuatan di salah satu tangannya.

"Sekarang giliranmu."

Tinggal melepas energi itu, maka berakhirlah segala sesuatu. Tidak ada alasan lagi untuk marah. Tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan semua ini. Seharusnya Rufus merasa senang, bukannya hampa.

Namun itulah yang dirasakannya. Kehampaan.

Kedua mata biru naga itu terus menunggu. Anehnya tidak ada ketakutan yang tersirat di sana. Sekilas, Rufus mengenali sisa-sisa dari sahabatnya di masa lalu dari sepasang mata yang pernah memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu; dengan kepedulian dan kelembutan. Itu memang kenangan di masa lampau, akan tetapi rasanya baru kemarin Rufus berkenalan dengan Agnar dan menjalani persahabatan yang tak pernah terbayangkan olehnya.

Mereka bisa saja mencapai banyak hal bersama, tapi ini jalan yang dipilih Agnar.

Bunuh dia, suara itu kembali bergema.

Namun, di sisi lain, ada tali tak kasatmata yang menahan pergerakannya. Sekalipun tipis, entah bagaimana tali itu punya kekuatan yang cukup untuk menahan tangan Rufus.

Seharusnya mengakhiri nyawa Agnar tidaklah sesulit itu. Akan tetapi pikiran Rufus terus berkelana memikirkan Cassidy. Dia memikirkan orang-orang yang telah dia lukai, naga tidak bersalah yang nyaris dia bunuh; entah kenapa semua itu menimbulkan rasa pahit yang tak menyenangkan walau Rufus berupaya mengabaikannya.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now