Bab 1

152 19 18
                                    

Aku yakin usia Naga Agung yang semakin tua turut memengaruhi konsentrasinya. Atau, naga raksasa itu kurang minum air. Pasalnya sudah dua kali aku membacakan laporan kunjungan bulan ini dan dia masih saja menatap kosong ke satu titik di guanya.

Aku berdeham untuk ketiga kalinya. Mata naga itu langsung kembali ke arahku, akan tetapi dengan sorot yang agak linglung.

"Terima kasih atas laporanmu," ucap sang pemimpin tanpa pikir panjang. Barangkali dia pun tidak tahu apakah aku sudah selesai membacakan laporan atau belum. "Kalian boleh pergi."

Yang benar? Aku bertanya dalam hati. Dua hari lalu, pada kunjungan kelompok terakhir dari Matumaini, ada seorang anak dan naganya yang begitu iseng sampai berani menjahili beberapa anak naga Dracaelum. Naga Agung yang normal akan langsung membahas persoalan tersebut dan meminta agar si anak dimasukkan ke dalam daftar hitam Dracaelum.

Aku dan Beast bertukar pandang, sama-sama menyetujui satu hal: ada yang aneh dengan naga raksasa ini.

"Girsta Don, apa ada masalah yang perlu kita bicarakan?" aku berinisiatif bertanya, tidak ingin kekesalan Naga Agung terpendam dan ujung-ujungnya malah merepotkan kami semua.

"Tidak ada masalah," naga itu menukas cepat. "Sekarang kalian boleh pergi."

"Anda yakin?"

"Ya, dan mungkin kunjungan bulan depan harus kita hentikan dulu."

Kendati berhasil memasang wajah kalem, tetap saja aku berteriak dalam hati. Baru saja dia bilang tidak ada masalah!

"Ada urusan internal Dracaelum yang perlu diurus," sambung Naga Agung. "Ketika hal tersebut telah diselesaikan, kami akan menginformasikannya pada pihak Andarmensia."

"Bisakah kami tahu kendala apa yang sedang Dracaelum hadapi?" giliran Beast bertanya.

"Ini hanya masalah biasa," Naga Agung menjawab. "Aku akan mengirim kabar segera setelah persoalan ini tuntas. Sekarang, silakan meninggalkan tempat ini. Tidak lama lagi akan ada pertemuan antar anggota Fittwen."

Aku dan Beast sama-sama memberi salam perpisahan dan pergi dari gua Naga Agung. Sepanjang perjalanan kembali ke Belt Centras, tidak ada percakapan yang terjadi. Aku sendiri terlalu sibuk menyusun kata-kata untuk melapor kepada Madam Jackson nanti, khawatir sang ketua dewan penunggang naga akan kalang-kabut setelah mendengar pembatalan kunjungan yang amat mendadak ini.

"Menurutmu apa lagi yang terjadi?" aku bertanya pada Beast setelah kami mendarat.

"Sebentar, biar kugunakan kekuatan telepatiku untuk membaca pikiran Naga Agung." Beast memejamkan mata erat-erat. "Wah, rupanya aku tidak punya kekuatan semacam itu."

Aku memutar bola mata. "Candaan itu sudah basi, Beast."

"Tapi cocok untuk menjawab pertanyaan yang sulit seperti barusan. Apa aku kelihatan memahami masalah naga tua bangka itu?"

"Dia selalu fokus setiap mendengar laporan kita," aku berujar pelan. "Setiap detail sederhana pun ingin dia ketahui. Kali ini sikapnya benar-benar lain."

Beast menggeram kesal. "Tidak usah memikirkannya, Cassie. Yang jelas kalau masalah ini menyangkut Andarmensia, dia pasti sudah langsung murka seperti bayi yang kehilangan mainannya. Nah, berhubung kita dan Andarmensia tidak terlibat, maka biarkan mereka menyelesaikan semuanya sendiri. Toh, nanti Naga Agung akan kembali normal lagi dan mulai menyalahkan kita atas tingkah bodoh penunggang cilik itu."

"Kau ada benarnya," aku menyetujui. "Sebelum Naga Agung mulai mengomel, aku harus pergi ke Matumaini dan memastikan anak itu mendapatkan hukumannya. Siapa pula yang mengajarinya mencoret wajah anak naga yang tertidur dengan tinta?"

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now