Bab 33

65 14 11
                                    

Sejauh ini Rufus belum menyusul, yang mana merupakan pertanda baik. Akan tetapi itu tidak menjadi alasan untuk memperlambat perjalanan. Tiba di pulau yang kami cari membuatku merasa lebih tidak sabaran.

Aku menunjuk ke salah satu arah. "Kalau tidak salah, ada gua yang bisa dilewati di sebelah sana."

Beast mengangguk. "Ya, cobalah berbelok ke sana, Kaia. Seharusnya tujuan kita ada di balik bebatuan itu."

Kaia mengarahkan posisi terbangnya ke balik bebatuan. Tidak jauh dari sana terdapat mulut gua berukuran besar yang bahkan masih cukup untuk dimasuki Kaia asalkan dia berjalan.

Kegelapan membentang hingga jauh ke dalam. Berbagai ketidakpastian yang sedang menanti membuat kami semua waswas. Kaia pun perlu mengumpulkan nyali sebelum membawa kami masuk ke dalam.

Semula kupikir telingaku salah mendengar, akan tetapi nyanyian para leluhur bertambah jelas setiap detiknya. Suara-suara yang semula lirih dan berasal dari kepalaku semata kini terdengar bak bisikan yang menyapu daun telingaku.

"Kita di jalan yang benar," aku berkata dengan semangat yang menggebu. "Nyanyian para leluhur... aku bisa mendengarnya dari sini."

"Beast, jangan mencengkramku," desis Ben, membuat Immy tertawa tertahan di belakangku.

"Maaf, maaf," Beast balas mendesis jengkel. "Itu terjadi di luar kendaliku."

"Sekadar informasi, kita hampir sampai," Kaia mengumumkan. "Demi sisik Draig, aku tidak siap."

Aku memiringkan tubuh untuk melihat ke depan. Ujung dari gua akhirnya terlihat, tetapi entah apa yang menanti di sana. Benakku segera membayangkan bola cahaya putih keemasan itu. "Bagaimana keadaan di depan, Kaia? Bisakah kau melihat sesuatu?"

Kaia sedikit memajukan kepalanya. "Tidak ada yang aneh sejauh ini. Kelihatannya seperti gua biasa."

"Apakah ada cahaya putih keemasan yang bersinar terang?"

"Tidak. Kalau dalam keadaan segelap ini, seharusnya kita semua bisa melihatnya bila ada cahaya semacam itu."

Apa ini gua yang salah? Satu pertanyaan itu cukup untuk membanjiri benakku dengan kekalutan. Setibanya ujung, kami dihadapkan dengan sebuah bukaan gua yang luas, tetapi tidak ada apa pun selain bebatuan dan garis-garis sinar matahari senja. Tidak ada roh naga maupun pancaran cahaya aneh itu.

"Aku yakin ini tempatnya," Beast menegaskan. "Lihat? Di sanalah tempat kita melihat cahaya aneh itu, Cass."

Tepat di bagian tengah, terlihat sebuah jurang yang mengelilingi tiang batu raksasa. Tempat itu terlihat sama normalnya dengan area lain di bukaan gua ini.

"Kita coba ke sana," ajakku. "Akan kucoba menyenandungkan nyanyian para leluhur, kemudian kita lihat apa yang akan terjadi."

Tidak butuh waktu lama bagi Kaia untuk terbang ke tiang batu raksasa di yang dikelilingi jurang itu. Ukurannya pun cukup besar untuk satu naga seukuran Beast. Kami semua turun dari punggung Kaia dan aku mulai menyiapkan diri untuk bersenandung.

Kepalaku memilih waktu yang tidak tepat untuk menampilkan sekilas gambaran dari Rufus yang sedang mencari-cariku. Seiring dengan proses tersebut, kubayangkan mata dan rambutnya berubah warna menjadi gelap akibat murka.

Aku membuka mata, berharap dapat mengusir bayangan tadi dalam diam. Kurasakan tangan Beast menyentuh pundakku. Dia masih harus menyesuaikan diri dengan tangan manusianya karena cengkraman Beast cukup kuat, entah dia sadar atau tidak. Akan tetapi, rasa sakit samar yang timbul justru mendorongku untuk menghimpun konsentrasi.

"Tenanglah," kudengar dia berucap pelan. "Fokus, Cassie."

Kuatur napas terlebih dahulu sebelum memusatkan perhatian pada senandung samar yang terdengar. Salah satu tanganku meraih tangan Beast yang masih berada di pundakku. Kehangatan yang terpancar darinya terasa menyenangkan, memaksaku berusaha lebih keras agar bisa terus merasakan kehangatan tersebut.

Iltas 3: A Dance of Fire and Sorceryजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें