Bab 35

82 15 24
                                    

Inikah kehidupan setelah kematian?

Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Rasanya seperti baru bangun dari tidur.

Bayangan seseorang menyelamatkan mataku yang baru sedikit terbuka dari silaunya cahaya. "Dia sadar."

“Cassie?” Suara Beast ikut terdengar. “Minggirlah!”

“Demi Draig,” gerutu pria asing itu. “Bersabarlah sedikit, dia baru bangun. Jangan mengguncangnya!”

Aku mengerang ketika Beast meraup tubuhku ke dalam pelukannya. “Syukurlah kau sadar! Kupikir kau sudah mati.”

“Sudah kubilang dia tidak mati,” suara si pria lagi-lagi terdengar. “Kalau kau memeluknya seperti itu, mungkin dia akan mati.”

Untunglah Beast segera menjauhkan diri karena aku mulai kesulitan bernapas. Setelah beberapa saat berlalu, pandanganku berangsur kembali jernih dan rasa pusing di kepalaku mereda. Wajah Beast menjadi semakin jelas dan nyata.

“Kita masih hidup?” aku bertanya dengan suara serak.

Beast mengangguk cepat. “Syukurnya begitu. Kita jatuh ke air, jadi aku berenang sampai kita tiba di tempat yang aman. Kita mendapat bantuan selama proses tersebut."

Kendati bertanya-tanya apa bantuan yang dimaksud, aku cukup yakin semua itu ada hubungannya dengan pria asing di dekat kami. Kuamati sang pria dengan lebih lekat sekaligus penuh kewaspadaan, mencoba menggali ingatan terkait wajah yang cukup familiar itu; rambut pendeknya yang hitam, warna kulitnya yang gelap, kedua mata hijaunya. Di mana aku pernah melihatnya?

Mau sekeras apa pun berusaha, otakku sedang tidak mau bekerja sama sehingga aku gagal mengingat pria yang tidak asing ini. “Apa kita saling kenal?”

Pria itu menggeleng. “Tidak, tapi aku yakin kau pernah melihatku di suatu tempat, misalnya di kuil Draig?”

Beast mendecakkan lidah akibat tidak sabaran. “Kau tidak usah bersikap penuh rahasia. Katakan saja kalau kau Jacob Daur, si penunggang pertama.”

Ingatan yang kubutuhkan muncul seketika. “Tentu saja! Kau Jacob Daur!” aku berseru. “Tunggu, apa ini artinya aku sudah mati? Di ambang kematian?”

“Yah…,” Jacob mengusap tengkuknya. “Sebenarnya kau memang berada di dunia roh.”

Ketika mendengar jawaban tersebut, aku baru menyadari kami berada di sebuah gua naga. Hanya saja tidak ada naga yang hidup di sini; setiap naga yang lewat telah berwujud roh, dengan gerakan mereka yang luwes bagai berenang di dalam air. Lagi-lagi aku merasa tidak asing dengan pemandangan yang kulihat.

“Hanya perasaanku atau tempat ini seperti gua tadi?” tanyaku.

“Ini memang gua tempat pusaka penunggang berada, hanya berbeda dunia saja,” Jacob membenarkan. "Tubuh fisik kalian dibawa masuk ke sini. Biasanya itu tidak bisa terjadi, tapi, sang dewa punya rencana lain. Dia berpikir ini tempat yang aman."

Dia membicarakan dewa bagaikan seorang pemimpin biasa, bukannya sosok ilahi yang tinggal di khayangan dan mengawasi jalannya kehidupan. Gara-garanya, percakapan kami terdengar semakin tidak jelas sampai-sampai aku merasa sedang mengigau.

“Mungkin kau bisa jelaskan segala sesuatu, karena aku tidak paham kenapa ini bisa terjadi. Kenapa kau ada di sini dan bagaimana ceritanya kami bisa sampai ke dunia roh?” tanyaku.

“Sederhana saja. Setelah kau mengambil pusaka penunggang, secara otomatis aku dan teman-temanku bisa keluar dari dunia roh agar dapat membantumu dan nagamu berlatih. Namun, kekacauan terlanjur terjadi. Kini kalian diamankan ke dunia roh.”

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryKde žijí příběhy. Začni objevovat