Bab 46

49 12 4
                                    

Perlindungan, Cassidy! Perlindungan!

Satu hal penting yang serta-merta kulupakan gara-gara berteleportasi. Aku bahkan belum memulihkan organ tubuhku yang teraduk-aduk dan Rufus sudah duluan melancarkan serangan.

Hal pertama yang kupikirkan adalah aku tidak ingin jatuh ke air. Segera kubayangkan sesuatu yang cukup untuk menahanku dan Immy. Alhasil panas tubuhku meningkat tatkala sihir bekerja, kemudian aku malah jatuh menabrak permukaan danau yang keras dan dingin.

Bagus. Apakah aku baru saja membekukan danau Naga Agung?

Rasa sakitnya tidak terlalu membantuku. Di sebelahku, Immy mengerang keras. Kuharap aku tidak mematahkan bagian tubuhnya. Sebelum sempat memulihkan diri, kulihat Rufus menggerakkan tangan lagi, mengirim gelombang energi lainnya untuk menghajarku dan Immy. Berhubung sihir telah menyebar ke sekujur tubuhku, langsung saja kubentuk perlindungan bagi kami berdua.

Gelombang sihir itu tak kunjung usai, terus menyapu kami bak ombak ganas. Di tahap ini aku tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba saja serangan itu berhenti. Aku dan Immy masih berada di atas permukaan danau yang mengeras dalam keadaan setengah terbaring. Rufus mengamatiku dengan ekspresi bingungnya, barangkali masih tidak menyangka kalau aku cukup kuat menahan serangannya. Atau, mungkin dia bingung kenapa aku tidak kunjung memberi serangan balasan.

Apa pun itu, kebingungan Rufus menghilang dengan cepat, digantikan dengan sorot mata tanpa emosi. "Oh," dia mengeluarkan suara prihatin, "kau harus lihat wajahmu sendiri, Cassidy."

Salah satu kaki Rufus menginjak permukaan danau. Gerakannya semula terlihat perlahan, tetapi dia memberi tekanan pada injakan tersebut, dan seketika retakan muncul.

"Begitu ketakutan," Rufus bicara seakan dia sedang bersenandung, "seperti kelinci kecil yang menghadapi serigala."

Retakan menjalar ke segala penjuru, nyaris menjangkauku dan Immy. Bila aku ingin berteleportasi, sekaranglah saat yang tepat. Namun dalam hitungan sepersekian detik, aku justru meletakkan tangan di atas permukaan danau dan mengeraskannya lagi. Kali ini, kupastikan permukaan tidak membeku, melainkan hanya mengkristal semata agar tidak licin ketika dipijak.

Aku tidak bisa kabur sekarang. Rufus pasti tetap menyusul dan pelarianku tidak akan ada artinya.

"Kau mau bertarung?" tanyaku, seraya mendorong tubuhku berdiri. "Ayo, kita bertarung."

Bukannya senang, senyum Rufus justru memudar dari detik ke detik. Sekarang aku agak menyesali tantangan barusan.

Kedua tangan Rufus terjulur ke samping, terlihat menegang. Telapak tangannya terbuka lebar bak cakar. Tidak ada yang bisa menebak rencananya sampai terdengar suara patahan dari stalaktit batuan gua naga yang ada di atas kami. Suara patahan terus berlanjut dari segala arah sampai semua stalaktit yang ada terlepas dari langit-langit gua dan siap menunggu aba-aba lanjutan dari Rufus.

Aku sudah memantapkan perlindunganku lagi, sehingga ketika stalaktit raksasa melesat ke arahku dari berbagai arah, nyawaku masih terselematkan. Hanya saja, hantaman bertubi-tubi tetap membuatku serasa dihajar. Tubuhku terguncang ke berbagai arah. Pertemuan antara bebatuan stalaktit dengan perlindunganku menghasilkan suara lantang yang menyakitkan untuk didengar.

Di antara serangan tersebut, kukumpulkan energiku sebanyak yang kubisa, mengakibatkan segala keributan diredam oleh nyanyian leluhur para naga. Aku membalas dengan melepas gelombang energi ke depan, bak bilah pedang raksasa yang siap membelah gua menjadi dua sekaligus menyingkirkan sisa serangan Rufus.

Permukaan danau yang mengkristal menunjukkan retakan cukup dalam walau tidak hancur sepenuhnya, disusul dengan retakan pada permukaan tanah tempat Rufus berada. Terlihat cekungan yang membelah gua seakan tempat ini baru saja dihantam meteor. Akan tetapi Rufus tidak berpindah dari tempatnya. Dia berhasil bertahan di sana, tidak sudi menunjukkan kegentaran barang sedikit meski serangan tadi membuatnya limbung sejenak.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt