Bab 60 - Epilog

115 15 25
                                    

Dulu Beast selalu membayangkan kematiannya.

Dia tahu dirinya akan berakhir sendiri di gua naga, kesepian dan sekarat; kehilangan kebebasan dan pupus harapan. Dibayangkan tubuhnya membusuk perlahan, dilupakan oleh dunia tanpa ada seorang pun mengingatnya.

Akan tetapi ketika membuka mata, dirinya justru melihat cahaya merah kejinggaan dari matahari yang telah mendekati cakrawala. Lautan memantulkan warna indah serupa, membuatnya lupa bernapas barang sejenak. Tak peduli meski telah sering melihat pemandangan ini, dirinya tidak akan pernah bosan.

Tiga belas tahun tanpa masalah adalah masa-masa terbaik bagi dirinya, meski Beast hanya menjalani kehidupan yang itu-itu saja. Bahkan dalam kesederhanaan, dia bisa menemukan hal yang lebih menyenangkan dibanding melawan musuh dengan masalah kepribadian berpadu dendam kesumat.

"Lily belum datang?"

Beast menoleh ke sumber suara. Dia sudah tahu penunggangnya berjalan kemari dari aroma tubuh yang diantarkan angin. 

"Kurasa dalam perjalanan kemari," ujar Beast. Dia menundukkan kepala, menggosok pelan moncongnya ke arah Cassidy. Garukan di dekat telinganya membuat Beast mendengkur lembut.

"Kau itu manja sekali," Cassie berkata gemas. "Harusnya kau ingat umur."

"Hmm." Garukan itu tak kunjung berhenti, membuat Beast enggan membalas panjang-lebar.

Beast membuka mata, mengamati penunggangnya yang kini sibuk mengamati langit senja di atas laut Modra. Angin sepoi-sepoi membawa serta aroma asin garam dan kesegaran dari alga bawah laut. Di antara semua itu, aroma penunggangnya menguar paling kuat, bercampur dengan aroma bumbu dapur dan ikan. Semua itu membuat Beast menghela napas lega.

Dia ada di rumah.

"Masak apa hari ini?" tanya Beast.

"Ikan panggang dengan bumbu manis," Cassidy menjawab. "Tadi siang Ben juga membawa pulang beberapa keladi segar dari perkebungan di Sanjac, jadi aku membuat keladi tumbuk."

Beast tidak memahami makanan manusia, tetapi dia suka mendengar Cassidy membicarakan hal-hal semacam itu. Pasalnya, kegiatan rumah tangga terdengar normal dan biasa saja; sebuah pertanda kalau mereka menjalani hidup yang jauh dari masalah.

"Istirahatlah yang cukup malam ini," Cassidy mengingatkan. Beast menahan dengusannya tatkala mengingat kunjungan ke Dracaelum yang akan mereka pimpin besok. Memang, intensitas kunjungan mereka tidak seekstrem dulu. Tapi setelah tiga belas tahun pun, selalu saja ada keengganan dalam diri Beast untuk pergi ke sana.

Dari kejauhan, yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba. Lily melaju menuju tempat mereka berada disertai keributan yang sudah bisa Beast dengar dari tempatnya berada. Dia menghela napas, menyiapkan diri untuk malam yang panjang dan pastinya minim istirahat.

"Mana mungkin aku tidur nyenyak kalau dua bocah itu ribut terus?"

"Maka dari itu ajak mereka bermain sampai lelah." Cassidy melambaikan tangan, menyambut tamu-tamu yang akan segera tiba di Morze. "Itu kunci menidurkan anak-anak."

Suara napas terengah dari jauh membuat Beast dan Cassie sama-sama menoleh, mendapati Steven berlari ke arah mereka diikuti ayahnya dari belakang.

"Perhatikan langkahmu!" Ben mengingatkan.

"Viorel! Thyme!" Steven meneriaki kedua temannya dari kejauhan, membuat kedua naga iltas kecil itu beradu kecepatan untuk terbang ke pantai. Beast dan Cassie hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah ketiga anak itu.

Viorel tiba lebih cepat dan langsung menghampiri Steven. Bocah manusia itu tak mampu membendung semangat naga di hadapannya sampai-sampai dia terjatuh ke pasir, sementara Viorel terus menggosokkan kepala ke perut Steven, membuat keduanya tertawa keras.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now