Bab 44

52 12 8
                                    

IMMY

Cahaya berwarna kebiruan menyambut mata Immy yang baru saja terbuka.

Immy pikir dirinya melihat langit. Dia pikir kekacauan yang terjadi semalam hanyalah bagian dari mimpinya. Butuh beberapa saat untuk memahami bahwa dirinya telah berada di Dracaelum, atau lebih tepatnya di dalam gua Naga Agung.

Dia tidak sempat mencari keberadaan sang pemimpin Dracaelum, sebab perhatiannya tertuju pada tujuh ekor naga yang berkumpul beberapa meter di depannya. Kendati cukup jauh, gestur kalut mereka terlihat jelas. Geraman-geraman gelisah memenuhi pendengaran Immy.

"Lihatlah siapa yang akhirnya sadar."

Immy menoleh ke sumber suara, mendapati Rufus bersandar pada dinding tak kasatmata yang mengeluarkan gelenyar putih ketika memperoleh tekanan di permukaannya. "Kuharap tidurmu nyenyak, Immy."

Immy mendorong dirinya bangun dan memukul dinding itu kendati tidak ada yang terjadi. Rufus masih berada di luar sana dalam keadaan aman.

"Bedebah," desis Immy. "Dasar setan."

"Makian tidak akan menyelamatkanmu," Rufus mengingatkan dengan kalem.

Immy mengerang keras. Dia memukul dinding itu sekali lagi dengan kedua tangannya. "APA MAUMU?!"

"Tentu saja aku ingin Cassidy keluar dari tempat persembunyiannya, dan kau adalah cara terbaik untuk memancingnya," Rufus berkata. "Hanya saja, tidak menyenangkan bila kita cuma menunggu. Maka aku menyiapkan sesuatu."

Seekor naga Dracaelum dipaksa maju oleh Gerick. Immy masih mengenali naga dewasa bersisik merah itu, hanya saja Immy bahkan tidak menyangka Gerick tetap hidup setelah pengkhianatan yang telah dia lakukan. Akan tetapi, sesuatu berubah darinya. Ekspresi sang naga terlihat datar. Sorot matanya tidak menunjukkan emosi apa pun selagi dia mendorong sang naga muda untuk masuk ke dalam kubah yang mengurung Immy.

Naga Dracaelum di depannya bukanlah naga dewasa yang sulit dilawan. Karena itu pula, terlihat keraguan dalam sorot mata naga itu saat masuk ke dalam kubah sihir dan dihadapkan dengan Immy.

"Kudengar Firtea Samrat adalah ajang tahunan di tempat ini," Rufus berujar antusias. "Kebetulan yang tahun ini belum dilaksanakan. Banyak petarung baru yang tertarik untuk mencoba."

Alih-alih tampak tertarik, naga di hadapan Immy terlihat amat terpaksa.

"Kita mulai dari petarung pertama!" Rufus mengumumkan. "Ayo, mulai!"

Sang naga dan Immy bertukar pandang sejenak, tetapi setelahnya sang naga duluan mengambil tindakan. Tubuhnya yang tidak terlalu besar dan ramping memudahkannya untuk bergerak ke depan dengan kecepatan tinggi sementara dadanya mengembang, bersiap menyemburkan api.

Immy membentuk perlindungannya, yang ditabrak sang naga tak lama setelahnya. Nyala api membutakan mata, memaksa Immy melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Dirapalkan mantra lainnya untuk memukul mundur naga itu, membuat sang naga terempas ke belakang. Naga itu sukses mempertahankan keseimbangan dan terbang ke bagian atas kubah.

Sang naga kembali menukik ke arah Immy, kali ini memadukan api dan sihirnya sehingga menghasilkan tekanan yang lebih kuat pada dinding perlindungan Immy. Meski demikian, pertahanannya masih cukup kokoh sehingga serangan tadi belum memberikan efek serius.

Kelihatannya naga muda ini belum banyak belajar soal pertarungan. Sejak awal, dia hanya menggabungkan serangan api dan energi sihirnya, padahal ada banyak serangan lain yang bisa diberikan. Naga itu turut memberikan serangan fisik, tetapi tidak ada yang terjadi pada dinding pertahanan Immy.

Pertahanan terus-menerus bukanlah cara yang efektif untuk melindungi diri, maka mau tak mau Immy mencari cara termudah untuk mengakhiri pertarungan. Mantra paling mudah yang bisa digunakannya adalah sihir pembius. Perlindungan naga itu mudah ditembus sehingga hanya butuh waktu singkat untuk membuatnya terlelap.

Rufus mendecakkan lidah keras-keras. "Bukan seperti itu, Immy." Permata sihirnya bercahaya, kemudian energi terkumpul di tangan Rufus sebelum dilepas ke depan, tepat ke arah naga yang sedang terlelap itu. Dalam sekejap, kepalanya terpisahkan dari tubuhnya.

Para naga yang masih menunggu giliran sama-sama mematung di tempat mereka tatkala melihat naga di dalam arena dicabut nyawanya begitu saja. Rufus mengusap tengkuknya dengan gusar, terlihat hanya memusingkan hasil pertarungan yang kurang memuaskan alih-alih memikirkan nyawa yang baru saja dia ambil dengan enteng.

Jantung Immy bertalu-talu dalam kebungkamannya. Kematian itu terjadi terlalu cepat sampai yang bisa Immy lakukan hanyalah diam, mengamati darah segar perlahan-lahan mengalir dari leher yang terpotong itu.

Dia mati, batin Immy berbisik. Sekujur tubuhnya gemetar tetapi terasa lumpuh saat hendak digerakkan. Dia sungguh mati.

Sejenak dia lupa pada nasibnya sendiri. Yang ada di dalam benaknya hanya sosok naga di depannya dan darah merah pekat yang telah membentuk genangan di rerumputan serta menyebarkan bau anyir ke seisi kubah.

"Gerick!" Rufus berseru. "Suruh naga berikutnya masuk."

Gerick bergerak patuh bak boneka yang digerakkan talinya. Didorongnya seekor naga muda lainnya ke dalam kurungan tak kasatmata itu. Kemudian, ditariknya tubuh serta kepala naga yang telah tewas itu dari dalam arena. Semua itu dilakukan dengan tatapan mata kosong, tak peduli meski darah membasahi rahang dan taringnya dalam proses tersebut.

"Kita bisa terus melakukan ini sampai kau membunuh seekor naga," Rufus berujar santai. "Atau, kau mau terus bertahan hingga sahabatmu datang. Pilihan ada di tanganmu, Immy."

Kepala pemuda itu kini beralih ke arah para naga muda yang dipaksa menanti ajal mereka. "Kalau kalian ingin hidup, kalian tahu apa yang harus dilakukan."

Naga muda di dalam kurungan juga mendengar. Kini pilihannya ada tiga: dibunuh Rufus, dibunuh Immy, atau menyelamatkan dirinya dari kedua hal tersebut.

Tentu saja, sang naga mengambil pilihan ketiga dan menyerang Immy.

━━━━━━━━━▼━━━━━━━━━

BEN

Santiago masih terbaring tak sadarkan diri di kursi ruang tamu, tetapi keadaannya sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi tadi?" tanya Ben pada ibunya.

"Aku tidak terlalu mengerti apa yang terjadi, tapi ada energi lain yang berada di dalam tubuh Santiago, dan tampaknya itu mengacaukan energi sihirnya," Ibu menjelaskan dengan cemas. "Namun, itu cuma terjadi sementara. Perlahan energi asing itu surut dengan sendirinya. Tapi efek yang ditimbulkan sudah cukup buruk. Sekarang Santiago demam tinggi."

Ben bersedekap seraya mengamati Santiago. Pria itu terlihat lebih baik dari sebelumnya walau wajahnya mengerut tak nyaman selagi dia tertidur. Sebuah kain kompres diletakkan di atas dahi Santiago sementara selimut tebal menutupi tubuhnya.

"Sekarang kita harus apa?" tanya Ben. "Ibu tadi bilang Immy berada di Dracaelum."

Ibu mengangguk. "Aku tidak tahu pasti apa rencana Rufus, tapi...," Ibu mendesah lelah, "aku... aku tidak tahu, Ben. Mungkinkah kita harus mencari Cassie?"

"Lalu apa? Menyuruhnya menghadapi Rufus?"

"Setidaknya dia harus tahu soal Immy," Ibu mendebat. "Setelah Santiago bangun, kita akan tanyai dia soal keberadaan Cassie lalu lihat seperti apa situasinya. Barangkali kita bisa menyusun rencana setelah itu."

Ben tidak tahu apakah mereka masih punya waktu hingga Santiago sadar. Saat ini kondisi Immy sudah tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama. Apa pun bisa terjadi pada gadis itu.

"Kurasa aku tahu di mana Cassie," Ben berujar. "Akan kucari dia."

"Apa itu sekadar tebakanmu saja atau...." Ibu sengaja tidak melanjutkan ucapannya, membiarkan Ben menjawab.

Ben menggeleng. "Santiago mengatakan sesuatu saat dia datang tadi. Waktu itu Ibu masih mengawasi mantra pelacak," jawabnya. "Kuusahakan untuk kembali secepat mungkin. Ibu sebaiknya awasi Immy lagi."

Ibu mengangguk. "Berhati-hatilah," dia mengingatkan. "Dan bila Cassie berniat pergi ke Dracaelum, ingatkan dia untuk tidak gegabah."

Ben ragu bisa mencegah Cassie bila masalah ini sudah menyangkut sahabatnya. Akan tetapi, tetap saja dia mengiakan ucapan ibunya. 

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now