"Apa yang dia--"

"Naruto,"

Ucapan Rin terjeda. Ini suara Hinata.

Apa yang mereka lakukan di sini?

Penasaran, dengan perlahan tanpa menciptakan suara apa pun, Rin membuka pintu dan melihat dari celah yang tersedia. Kedua orang tersebut sedang saling berhadapan.

Jika hanya Hinata, mungkin, Rin akan menghampiri dan bertanya langsung. Tetapi, karena di sana juga ada Naruto, rasanya, Rin menjadi ragu untuk mengeluarkan diri dari ruangan.

"Hm? Ada apa?" kali ini, Naruto yang berbicara.

"Sebenarnya--"

Rin mendapati sang pemuda menggapai ponsel miliknya dan sedikit bergeser tubuh ketika menanggapi panggilan yang terjadi.

"Ya?"

"..."

"Baiklah, baiklah. Aku datang,"

Wajah Naruto terlihat keberatan setelah menyelesaikan pembicaraan via telepon.

"Nanti malam akan 'ku jemput dan kita lanjutkan lagi pembicaraannya, hm? Yang lain sudah menungguku di depan."

Bagi Rin, melihat Naruto yang begitu akrab dengan Hinata -- adalah hal biasa. Tapi, entah mengapa, saat menyaksikan tangan pemuda tersebut mengelus penuh sayang helaian rambutnya, Rin mendadak merasa tawar.

Naruto tak pernah menawarkan perlakukan semanis itu padanya, dulu.

"Tak apa 'kan jika kau pulang sendiri setelah ini?"

Hinata mengangguk memberi respon. Tetapi, apa yang selanjutnya terjadi -- sungguh terlalu mampu membuat Rin menahan napas dengan jantung berdetak sangat sesak.

Mereka berciuman.

Meski hanya secara singkat, namun, sudah sangat ampuh untuk mengenalkan Rin pada keretakan.

"Hati-hati dalam perjalanan, oke? Aku mencintaimu." Setelahnya, Naruto telah berlalu pergi meninggalkan.

"Aku ... mencintaimu?" Rin mengulangi perkataan secara berbisik. Matanya bergetar tak menyangka.

Jadi, selama ini ... mereka--

Tak tertahan, Rin meremas kuat tali tas dalam genggamannya. Ia berjalan keluar ruangan dan mata yang ditujukan kembali pada Hinata yang tampak seperti orang tak sehat.

Hinata sedang mendudukkan diri pada bangku yang tersedia, serta, ketika tanpa sengaja telinganya menangkap suara pintu tertutup pelan, ia menoleh dan saat itu pula ekspresi tersebut menuliskan rasa terkejut hebat.

Sayangnya, Rin sudah terlanjur melihat semua.

.

.

.

Detik berlalu menjadi sangat lambat ketika dua pasang mata berbeda warna masih menetapkan diri untuk saling memandang.

Heningnya suasana serta hanya diisi oleh desau napas yang serasa tercekat, membuat dada kian sekarat kala mengingat kembali apa yang baru saja terjadi; bagi Rin, pun Hinata merasakan hal yang tak berbeda.

Perasaan yang dirundung tak menyangka, menghantar lengan Hinata untuk mendekap mulutnya sendiri -- tempat di mana ia menerima ciuman dari mantan kekasih sang sahabat sendiri.

Tak ada yang baik-baik saja. Baik Hinata atau Rin, mereka seakan larut pada rasa menyelekit tak terkira.

Serasa berada di sana lebih lama hanya akan membuat sesak lebih parah, Rin lekas berjalan memutar bersama langkah cepat untuk hendak pergi secepat yang ia bisa.

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now