Zayden berdiri, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Zaina berdiri. Dengan ragu gadis itu menerima uluran tangannya.

"Zaina pamit, ya?" izin Zaina setelah mereka berdiri dengan berhadapan.

"Iya. Tunggu saya. Seminggu, Na, setelah itu nggak akan ada jarak lagi," balas Zayden.

Zaina mengangguk, tangannya terulur berniat untuk menyalimi Zayden. Namun, laki-laki itu justru menarik bahunya dan mendekap tubuhnya. Zaina membeku karena terkejut.

"Izin peluk kamu lagi," gumam Zayden.

Setelah beberapa saat, barulah Zayden melepas dekapannya. Zaina hanya tersenyum kaku.

Zayden menggapai tangan gadisnya. Karena mengerti, Zaina pun langsung mencium punggung tangan laki-laki itu.

Saat mendongak, Zaina dikejutkan dengan serangan Zayden pada keningnya.

Cup

Zayden tersenyum setelah berhasil mengecup singkat kening Zaina.

"Untuk yang ketiga kalinya," ucap Zayden.

"T-tiga? Kapan itu?"

Zayden menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Malam itu ...."

"Malam saat kamu kasih aku cincin, ya, Kak?"

Zayden mengangguk. "Dua kali. Maaf, ya?" jawab Zayden. Malam itu dua kali ia mencium Zaina secara ilegal alias tanpa izin.

"Enggak pa-pa. Aku yang harusnya minta maaf," balas Zaina sambil meremas sisi gamisnya.

Kening Zayden berkerut. "Minta maaf soal apa, Na? Hobi kamu memang minta maaf, ya?"

"Malam itu ...."

"Jangan-jangan kamu belum tidur? Terus kamu sadar saya ngomong apa aja dan lakuin apa aja?" tebak Zayden melongo.

Zaina langsung menggeleng cepat. "Bukan itu, Kak. Zaina beneran tidur, kok. Cuma ...."

"Cuma?"

"Cuma waktu setelah Kakak cium, Zaina kebangun. Maaf banget kalo Zaina malah bilang yang cium Zaina itu ...."

"Apa?"

"Amit, ya, Kak .... Zaina kira yang cium Zaina waktu itu Syaiton," jawab Zaina meringis. Ia langsung menunduk. Sangat takut jika Zayden akan memarahinya.

Bukannya mendapatkan kemarahan dari Zayden, Zaina justru mendapatkan usapan lembut di puncak kepalanya. Kontan ia mendongak. Laki-laki yang berstatus suaminya itu tengah tersenyum lembut kepadanya.

"Kenapa nunduk?" tanya Zayden.

"Takut," cicit Zaina sangat pelan. Namun, Zayden tetap bisa mendengarnya.

"Kenapa takut, Zaina Alayya?"

Gadis itu meremas jari-jarinya karena gugup sekaligus takut. "Zaina nggak dimarahin?"

"Kenapa saya harus marahin kamu? Harusnya kamu yang marahin saya karena udah lancang masuk ke kamar seorang gadis dan parahnya lagi main cium-cium aja waktu gadis itu masih tidur," jawab Zayden.

"Ya, Zaina nggak ada hak juga buat marahin Kak Zayden. Secara, kan, kamar gadis itu kamar istri kamu, Kak. Gak masalah juga kalo gadis itu kamu cium," balas Zaina.

Zayden takjub. Secara Zaina mengatakan itu tanpa ragu dan tanpa gugup.

"Jadi boleh saya cium?" tanya Zayden dengan polosnya.

"H-ha? Bukan gitu juga, K-kak," jawab Zaina terbata-bata.

Zayden kemudian merespons dengan kekehan.

"Jadi, impas kita. Nggak perlu ada marah-marahan. Lagian kita baru berdamai," lanjut Zaina.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Where stories live. Discover now