21-Alasan Berhenti Mual

82.5K 3.8K 213
                                    

Kalila mengaduk milk shake rasa mangga yang sudah dia pesan tadi, sambil menunggu Indi yang tengah mengambil batagor juga siomay kuah yang dia pesan tadi. Perhatian sekali sahabatnya ini, untuk makan saja dia diambilkan.

"Nih, makan dulu, gue tahu bumil pasti sering lapar."

Kalila mendelik tajam mendengarnya, tetapi walau begitu dia tak menyangkal. Nyatanya, ibu hamil itu memang sering merasa lapar.

"Gimana pak Abit? Baik? Dia gak macam-macam sama Lo, 'kan?"

Kalila menggeleng, jelas dia sama sekali tak pernah merasa kalau Abit macam-macam padanya, apalagi mengingat mereka pisah ranjang juga baru tidur seranjang semalam. Itupun hanya untuk tadi malam saja

"Lo harus cerita banyak sama gue, udah berapa bulan lo gak ke kampus. Enak banget, bimbingan sama suami sendiri."

Lagi, Kalila mendelik tajam. Mendengar hal tersebut jelas membuat Kalila kesal. Bimbingan apanya? Dia saja semenjak menikah dengan Abit sangat jarang bertemu, atau terkesan Abit tak ingin ada di sekitarnya, apalagi bimbingan. Skripsinya dalam bentuk  soft copy ada di laptopnya dulu yang ada di rumah keluarga Nowlan.

Keluarga Abit memang memberikan dia fasilitas apa saja yang dia butuhkan, ponsel, laptop, tablet, dan juga ada dua rekening bank dengan bank berbeda. Namun, Kalila sama sekali tak bimbingan dengan Abit, karena tak ada skirpsinya dalam bentuk soft copy.

Dia punya yang hard copy, tetapi dengan Indi dan Kalila baru bertemu dengan Indi hari ini.

"Gue belum pernah bimbingan selama nikah sama dia," ujar Kalila.

"What?! Kok bisa? Ini kesempatan, Lila."

Kalila tersenyum kecut. Benar apa kata Indi, ini kesempatan, tetapi untuk mengobrol dengan Abit saja, Kalila jarang. Jangankan mengobrol, melihat wajah Abit saja jarang. Selain Abit yang terkesan menghindarinya, Kalila juga benci melihat wajah Abit, dia selalu terbayang-bayang dengan kejadian malam itu, saat Abit merenggut paksa semuanya.

"Gue tetap pada rencana awal gue. Setelah anak ini lahir, gue sama pak Abit cerai," ujar Kalila serius.

"Lo serius?" tanya Indi. Gadis itu meneguk ludahnya susah payah, kemudian kembali melanjutkan perkataannya.

"Maksud gue, gimana sama nasib anak lo? Lo mau dia hidup tanpa ibu kayak lo, besar tanpa ada ibu dan ayah."

Kalila berdeham, lalu berkata, "Setidaknya keluarga papanya mau menerima dia dengan baik, menyayangi dia sepenuh hati."

"Jangan biarin dia bernasib sama kayak lo, Lila."

"Gue gak bisa, Ndi. Karena dia, gue semakin dibenci keluarga gue sendiri. Gue yang udah dibenci sejak kecil semakin dibenci karena gue hamil di luar nikah."

Sejak kecil, Kalila dibenci keluarganya. Dia selalu disalahkan, selalu dikatai sumber masalah, sering dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya. Karena dirinya, kedua orang tuanya pergi untuk selamanya, karena dirinya Kalula dulu koma selama sebulan lebih. Kemudian ketika Kalula sudah memiliki karir cemerlang di usia muda, dia kembali dibenci dan dibanding-bandingkan dengan Kalula.

Keinginan Kalila tak banyak, dia hanya ingin mendapatkan pengakuan dari keluarganya dan tak dibenci lagi, terutama kakaknya yang terang-terangan menyatakan bahwa dia membenci Kalila.

"Pikirkan anak lo, La," bujuk Indi. Hal yang membuat Indi kasihan dengan Kalila, karena Kalila dibenci keluarganya, tetapi dia tak ingin menunjukkan bahwa dia kasihan pada sahabatnya itu, mengingat Kalila tak suka dikasihani.

"Gue udah bicarain semuanya sama pak Abit, keluarganya juga setuju. Alasan gue nikah sama pak Abit, karena mereka setuju dengan persyaratan yang gue kasih."

KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)Onde histórias criam vida. Descubra agora