5-Hamil

99.5K 4.2K 42
                                    

Terhitung sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, Kalila menghindari Abit, bahkan dia sama sekali tak mau bimbingan demi menghindari Abit yang pastinya terus meneror dia dengan kata-kata yang jelas membuatnya ketakutan.

Gadis itu menatap lama pada kalender yang ada di kamarnya, lebih tepatnya pada nomor yang dia lingkari. Tanggal datang bulannya sudah lewat dua minggu, beberapa hari ini dia sering merasakan keram di perutnya. Kalila pikir dia akan datang bulan, ternyata tidak.

Namun, gadis itu tak mau berpikir negatif, dia tak mungkin hamil hanya dengan sekali melakukan. Tapi ... dia lupa meminum pil pencegah kehamilan, apa benar dia tak akan hamil?

Oh, ya Tuhan. Kalila menggelengkan kepalanya berkali-kali, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang menghantuinya. Dia tak akan mungkin hamil hanya dengan sekali melakukan.

Ah, perihal hamil membuat dirinya benar-benar ketakutan. Apa yang akan dikatakan oleh keluarganya nanti? Sudah tak membanggakan malah hamil di luar nikah, sudah pasti dia akan semakin dibenci.

Dia harus menunggu seminggu lagi, jika dia tak juga datang bulan, maka dia akan langsung tes dengan alat tes kehamilan. Kalila menghela napasnya panjang, kepalanya tiba-tiba saja pening kala mengingat kejadian yang sangat menakutkan itu.

Harusnya malam itu dia tak mengangkat panggilan dari bartender di club Grazela, harusnya dia tak perlu ke club Grazela, harusnya dia tak perlu memiliki rasa simpati pada dosennya, harusnya dia tak perlu membantu dosennya itu. Semuanya berakhir seperti ini. Hanya kata seharusnya yang keluar dari mulut Kalila, nyatanya semuanya sudah terjadi.

Memikirkan dia yang lambat datang bulan membuat Kalila pusing juga merasakan mual, alhasil gadis itu memilih untuk membaringkan tubuhnya di ranjang setelah melihat kalender di meja belajarnya, barangkali dengan dia yang berbaring bisa menghilangkan pusing juga rasa mualnya.

Namun, ternyata belum sampai lima menit dia berbaring, pintu kamarnya sudah digedor-gedor dari luar, cukup keras, membuat rasa mual membuat Kalila harus bangkit dan ke kamar mandi yang letaknya ada di luar. Kalau kamar semua penghuni rumah memiliki kamar mandi di dalamnya, maka kamar Kalila sama sekali tak memiliki kamar mandi di kamarnya. Untuk mandi, gadis itu harus ke dapur, di sana ada kamar mandi juga.

Kalila berlari, keluar dengan tangan yang membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isi perutnya saat perjalanan menuju kamar mandi. Gadis itu bahkan tak peduli pada Randy yang tadinya menggedor-gedor pintu kamarnya.

Kalila lebih memilih memuntahkan semua isi perutnya dari pada meladeni Randy yang jelas saja pasti akan memarahinya.

Cairan bening dan berlendir keluar dari mulut Kalila. Rasanya benar-benar tak nyaman kala mengeluarkan isi perutnya, belum lagi dengan dalam mulutnya yang terasa pahit.

Setelah dirasa sudah cukup, Kalila membasuh mukanya. Perutnya juga terasa keram. Sepertinya dia maag lagi. Efek jarang makan membuat maagnya kambuh, kalau seperti ini, dia tak bisa ke kampus dan pasti kakaknya akan marah besar. Gadis itu memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, tetapi baru selangkah dia keluar, Kalila sudah menduga suara kakaknya.

"Kamu kenapa?"

Kalila melebarkan matanya tak percaya mendengar apa yang ditanyakan Randy. Ini serius? Dia baru kali ini mendengar kakaknya yang begitu perhatian padanya. Senyum Kalila mengembang. Bolehkah dia memeluk kakaknya itu?

"Jangan terlalu besar kepala, kakak nanyain kamu karena takutnya itu hanya akal-akalan kamu aja biar gak ke kampus. Tolong jangan jadi beban, Kalila. Ini terakhir kalinya kami bayarin kuliah kamu, jadi kamu juga harus cepat-cepat lulus."

"Maaf, Kak. Tapi Lila benar-benar sakit, gak bohong."

"Gak usah pura-pura sakit, Kalila. Kamu gak kayak Lula yang tetap ke kampus walau dia sakit."

"Masih ada hari esok, 'kan, Kak? Lila benar-benar sakit, pusing juga."

"Siap-siap ke kampus," perintah Randy tak dapat dibantah. Pria itu mengeluarkan dompetnya di saku celana bahannya, kemudian mengeluarkan uang sebesar lima puluh ribu pada Kalila.

"Jajan kamu. Dan jangan banyak alasan."

"Makasih."

Randy sudah tak membalas, tapi dia langsung meninggalkan Kalila di dapur. Meninggalkan luka pada Kalila, menggores hati Kalila bahkan membuat luka kalian terbuka lebar. Sakit saja dia masih dibilang pura-pura, apakah nanti kalau dia mati akan dibilang juga pura-pura mati?

***

Niat hati pagi tadi, ingin menunggu seminggu baru akan menggunakan alat tes kehamilan, nyatanya Kalila sudah membeli alat tes kehamilan di apotek sore harinya. Dia benar-benar tak tenang kala mengingat kalau waktu datang bulannya sudah lewat dua minggu.

Jantung Kalila terus berdetak tak menentu, takut jika apa yang tak dia inginkan benar-benar terjadi. Gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya, tangannya masih menatap pada alat tes kehamilan yang belum dibuka dari kemasannya dan belum dipakai.

Gadis itu menghembuskan napasnya panjang. Dia siap memakai alat tes kehamilan itu. Namun dalam hatinya berharap, semoga saja apa yang dia takutkan tak terjadi.

Setelah selesai memakainya dan dia memilih menunggu di kamar mandi beberapa menit, Kalila langsung mengambil alat tersebut yang dia letakkan di wastafel. Gadis itu tak langsung melihat, tetapi menutupnya dengan tangan. Jantungnya berdetak kencang, tangannya juga gemetar saking takutnya.

Kemudian dia memejamkan matanya, lalu menghitung sampai tiga untuk melihat pada alat tes kehamilan itu.

Satu

Dua

Tiga

Tubuhnya menegang melihat apa yang ada di alat tes kehamilan itu. Tangannya juga gemetar hebat, bibirnya kelu untuk mengeluarkan suara, alhasil gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Garis dua. Dia hamil. Oh, itu tak mungkin. Mereka hanya sekali berhubungan, tak mungkin langsung hamil begitu saja.

"Enggak, gue gak mungkin hamil," cicit Kalila agar tak didengar oleh dua pembantu di dapur yang tengah memasak.

"Ini pasti salah. Gue gak mungkin hamil," imbuh Kalila masih tak menerima hasil alat tes kehamilan itu.

"Iya, tes pack ini pasti rusak atau udah kadaluarsa. Gue gak mungkin hamil," gumam Kalila. Gadis itu melihat lagi pada alat tes kehamilan yang masih dia pegang.

"Kenapa bisa gue hamil? Ngelakuin itu hanya sekali gak mungkin bikin gue hamil, 'kan?"

Lagi-lagi Kalila menggelengkan kepalanya, dia tak mau. Bagaimana dengan karirnya? Bagaimana dengan tujuannya yang ingin mendapatkan pengakuan dari keluarganya? Kalau seperti ini, yang ada dia semakin dibenci, semakin dijauhkan, dan semakin dibanding-bandingkan dengan Kalula. Kalila sadar, nyatanya dia memang hanya beban di keluarga Nowlan.

Hancur semuanya apa yang sudah dia rencanakan. Semuanya hancur. Sampai kapanpun tak akan ada keluarga yang mau mengakui kehebatannya. Kalila kesal, marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia pun melempar alat tes kehamilan itu asal, melupakan bahwa akan ada orang yang mendapatkan alat itu dan membuatnya semakin hancur.

***

Otw penderitaan Kalila yang sebenarnya 😏

Gimana sama part ini? Pada kesal gak sih sama si Randy? Kalian bisa jawab di kolom komentar. Silakan hina, caci maki, atau apapun itu untuk Randy di komentar.

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)Where stories live. Discover now