4

1.5K 230 21
                                    

Sekiranya, jam digital yang berdiri di nakas telah menunjukkan pukul enam pagi ketika mata Hinata terbuka perlahan untuk memandang hampa langit-langit kamar.

Perasaan serta pikirannya mendadak terasa sangat kosong. Bibirnya terkatup rapat. Ada berjuta tanya yang mengisi hati, tetapi ketika ingin meluapkan ke permukaan, semua serasa mati.

Dengan sadar, tetesan airmata jatuh membasahi pipinya kala mengingat kembali perbuatan nekat apa yang telah ia lakukan semalam.

Hinata paham ini salah. Jika mampu kembali mengulang waktu, ia harap bisa berteguh pada keinginan agar tak melangkah terlalu jauh. Tetapi, semakin ia larut pada penyesalan, semakin pula kenyataan memaksa kesadaran untuk mengerti jika semua sudah terlanjur terjadi.

Tangis yang lebih keras -- akhirnya pecah. Ia sesegukan dengan pelan.

Naruto yang masih berlabuh pada alam mimpi, terpaksa mendarat pada kenyataan dan kembali menghadapi keadaan.

Dipandanginya Hinata yang sedang memeluk lutut sendiri dan ikut membangkitkan diri agar duduk.

Ada sepercik--tidak! Tapi gelombang besar yang dinamakan 'penyesalan' tengah memberi terjangan. Naruto menjadi bingung bagaimana harus menawarkan ketenangan agar Hinata bisa berhenti menangis.

"Hinata--"

Ketika ia memberi sentuhan, Hinata menepis. Tubuhnya berputar membelakangi sehingga Naruto hanya bisa memandangi punggung polos yang sesekali tersentak karena masih diliputi kesedihan.

Pada akhir, Naruto hanya bisa kembali terdiam. Ia merutuki diri sendiri atas nafsu bejat yang sempat mengambil alih.

Kalau berkata tentang rasa tak nyaman, melihat Hinata yang dirundung pilu, jelas memberi efek serupa pada Naruto. Hanya saja, semua sudah terlanjur. Apa yang bisa diubah jika telah sejauh ini? Yang harus mereka lakukan adalah menerima dan menghadapi kenyataan.

"Maaf, Hinata."

Tak ada tanggapan. Naruto dibuat semakin bingung untuk bertindak. Diusapnya wajah dengan gusar, lantas menarik napas panjang.

"Aku akan bertanggung jawab."

Ia sadar bila tangis dari sosok di hadapannya sempat terhenti.

"Jika memang terjadi sesuatu padamu, aku tak akan lari."

Sangat perlahan, Hinata menoleh. Ia memandang dengan berbagai macam perasaan; kesedihan, sakit, marah dan penyesalan.

"Apa kau sadar jika kita baru saja mengkhianati Rin?"

Naruto bungkam.

"Jika Rin tahu, dia akan sangat terluka dan membenciku. Rin akan--"

"Semua sudah terjadi, Hinata. Mau bagaimana lagi?"

Kini, giliran Hinata yang terdiam.

Terus saja, Naruto masih mencoba untuk menawarkan sentuhan, namun, Hinata tetap menepis dan menjaga jarak agar tak begitu dekat.

Sang pemuda dibuat kehabisan tindakan.

"Mari kita jadikan ini sebagai rahasia, hm? Tak akan ada yang tahu bila kita tetap tutup mulut."

"Kau bicara seperti seorang berengsek."

Mata Naruto bergetar. Baik. Silahkan anggap dirinya seorang berengsek, tetapi, apa lagi yang bisa diperbuat?

"Hinata--"

Tanpa memberi tanggapan, Hinata telah beranjak. Meraih beberapa lembar pakaian dan memakai kembali tanpa ingin menoleh barang sedikit.

With You: A Faux Pas? [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now